Search

Jumat, 19 Juni 2015

CINTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh: Halimatus Sa’diyah, M.Pd.I
(Disampaikan pada acara KAROMAH yang diselenggarakan oleh REMAS As-Syuhada’ Pamekasan )

A.    Pendahuluan
Berbicara tentang cinta adalah sesuatu yang sangat menarik, apalagi bagi mereka yang sedang kasmaran, sebelum kita membahas tentang cinta dalam perspektif Islam ada baiknya kita kaji makna cinta itu sendiri. Banyak orang tidak bisa mengartikan cinta, karena cinta itu tersirat bukan tersurat. Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9).
Namun, kita akan mencoba mendefinisikan cinta dari segi etimologi dan terminologi. Menurut bahasa Arab Cinta itu adalah Cinta dalam bahasa arab umumnya menggunakan kata habba-yuhibbu "حُبُّ" hubbun, terdiri dari huruf (ح) ha dan (ب) ba, dan memang sepertinya kata inilah yang tepat untuk menggambarkan maksud atau makna cinta. Ada banyak makna tergantung kepada apa disandarkan atau dinisbahkan. Bisa bermakna menyukai, menyenangi, menginginkan, menghendaki, menggemari, memenuhi, mengutamakan, mengasihi, menyayangi, memilih, ramah. Sedangkan dalam bahasa Inggris cinta itu sering disebut dengan Love yang artinya: kasih sayang. Secara istilah cinta itu diartikan suatu perasaan yang cenderung tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata namun, bisa titunjukkan melalui pengorbanan. Karena pada hakekatnya cinta itu adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam amalan lahiriah. Untuk lebih jelasnya mari kita bahas cinta dalam perspektif Islam.

B.     Pembahasan
Banyak orang berbicara tentang cinta tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya, atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syar’i. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal ini adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya. Kita memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.
Ketika membahas cinta dalam Islam, maka perlu diketahui tiga tahapan cinta berdasarkan tingkat kecintaan yang seharusnya.
1.      Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
            Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an Surat. Al-Imran : 31



قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengaisihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebab-sebab turunya ayat diatas ketika Rasulullah saw mengajak Ka’ab bin Asyrof dan kawan-kawannya masuk Islam. Mereka menjawab, “kami adalah putra-putra Allah, dan sungguh kami sangat mencintai Allah”
Di dalam ayat ini jelas tersurat bahwa jika seseorang mengaku cinta pada Allah maka haruslah ia mengikuti Rasul, menegakkan sunnah-sunnah beliau dan metaatinya. Maka barang siapa yang cinta pada Allah haruslah cinta pada Rasulullah, begitupun sebaliknya.
” Tidaklah seorang hamba beriman sehingga aku lebih dicintai olehnya daripada keluarganya, hartanya dan seluruh manusia.”(HR. Muslim)
Dan kencintaan inilah yang memiliki tingkatan yang paling tinggi melebihi tingkatan-tingkatan cinta yang lain.
2.      Cinta Kepada sesuatu karena cintanya kepada Allah dan rasul-Nya
            Dari Anas ra. dari Nabi saw bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”(Shahih Bukhari)
Dalam hadits ini mampu disimpulkan bahwa mencintai sesama muslim itu diperbolehkan, dan mencintai muslim itu sebagai sarana untuk menunjukkan rasa tunduk kepada apa yang disampaikan Allah dan Rasulullah.
Dalam hal lain, Allah berfirman:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ


“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, (terutama kepada ibunya), karena ibunyalah yang mengandungnya dengan berbagai susah payah, dan menyapihnya dalam (umur) dua tahun. Oleh karena itu hendaklah kamu bersyukur kepada Ku (hai manusia) dan juga kepada Kedua orang tuamu.” ( QS. Luqman 14 )
Dalam hal mencintai orang tua, itupun masuk dalam tingkat kecintaan yang nomor dua dan itu bukanlah suatu yang dilarang dalam Islam. Bahkan ada sebuah hadits dari  Abu Abdulrahman, Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: Aku pernah bertanya pada Rasulullah, tentang perbuatan apakah yang paling dicintai Allah? Jawab beliau : “yaitu shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Jawab beliau: “berbuat baik kepada orang tua”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: “Jihat fisabilillah”. ( HR. Bukhori dan Muslim)
Hal inipun sebagai penguat bahwa mencintai selain Allah dan Rasulullah itu diperbolehkan selama itu sebagi sarana untuk mencintai Allah, dan suatu bentuk ketaatan pada-Nya.
Ngomong-ngomong, bolehkah kita mencintai dunia? Sebagian orang mungkin mengangguk, tapi ada juga yang menggeleng. Sebenarnya boleh-boleh saja, akan tetapi ada syaratnya. Antara lain:
·         Kita mencintai dunia sewajarnya saja, tidak boleh berlebihan.
·         Kita mencintai dunia karena Allah, bukan karena yang lain.
·         Kita menempatkan Spritual Love di atas Emotional Love dan Rational Love.
Dalam Al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa dijadikan indah pada mata manusia terhadap wanita, anak-anak, perhiasan, kendaraan, dan properti (al- Imran : 14). Dengan demikian, cinta dunia merupakan fitrah manusia, tidak mungkin dihilangkan. Bahkan, jika dihilangkan akan membawa masalah dan dilema. Contoh; ketika orang tua tidak mencintai anaknya, atau suami tidak mencintai istrinya maka akan memicu terjadinya prahara dalam rumah tangga. Akan tetapi tidak boleh keterlaluan juga misalnya kita berlebihan mencintai keluarga kita sehingga menghalalkan segala cara untuk membahagiakan mereka. Maka surga tidaklah layak bagi kita.
Contoh lain, misalnya kita dikaruniai mobil mewah, amin….. lantas kita menyukai dan merawatnya. Pastilah kita merasakan kenikmatan ketika menyetirnya, bolehkah???? Tentu saja boleh. Hanya saja, jangan berlebihan. Hendaknya pula, kita mencintai mobil tersebut karena Allah, yaitu dengan menggunakan mobil tersebut hanya untuk tujuan-tujuan yang diridha’i oleh Allah. Dan kecintaan kita terhadap mobil tersebut tidak melebihi kecintaan kita kepada Allah. Bahkan jika kita tidak merawat karunia Allah tersebut itu sama artinya dengan kufur nikmat. Nau’dzubillah.
Saudara-saudara sekalian yang dirahmati Allah.
Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Swt tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas r.a berkata : telah bersabda Rasulullah Saw:

["Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pernikahan"]

Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena ‘pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramnya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Swt.

Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena apa yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab-sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti perkara yang telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai pertanggung jawaban kelak, dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.

Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan oleh beliau. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun …..sangat sedikit mereka yang selamat.
Dengan begitu memang tidaklah mudah untuk kita berpaling dari cinta yang menjerumuskan kita kepada perbuatan maksiat, namun hendaklah kita senantiasa selalu memohon ampun kepada Allah dan mohon perlindungan kepada-Nya agar setiap yang kita lakukan bisa mendapatkan ridho dari Nya. Amin…………. Agar kita senantiasa bisa menjaga kehormatan dan kemuliaan kita sebagai seorang muslimah sejati dengan bekal iman, keteguhan hati dan kesabaran yang kita miliki.
           
3.      Cinta terhadap sesuatu menyamai/melebihi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya
            Tingkatan cinta yang terakhir inilah yang tidak diperbolehkan dalam Islam, karena hal ini merupakan suatu bentuk syirik dalam cinta.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 165
š
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah: mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta pada Allah”
Maka bisa disimpulkan bahwa kecintaan terhadap sesuatu itu tidak boleh melebihi kecintaannya pada Allah, jangankan sampai melebihi bahkan menyamainya saja tidak boleh.
Karena cinta yang berlebih akan menimbulkan suatu kerinduan yang mendalam yang akan mengakibatkan individu yang bersangkutan akan mengalami gila cinta yang mana berakibat mabuk cinta yang mengakibatkan, merasa yang dicintainya adalah segala-galanya, yang mana hal ini sangatlah tidak tepat kecuali hanya diberikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
            Banyak orang yang terpesona dengan dunia, bahkan diperbudak oleh dunia. Ini yang sering disebut dengan “Hubbud dunya”.Oleh karena itu, jadilah pemilik harta bukan dimiliki oleh harta. Yang menyedihkan, penyakit Hubbud dunya ini tidak hanya diderita oleh orang-orang kaya saja, akan tetapi juga diderita oleh orang-orang miskin. Mereka tidak memiliki harta, namun siang malam terbayang harta, orang kaya dikejar-kejar harta sedangkan orang miskin mengejar-ngejar harta. Jadi yang lebih berpotensi untuk penyakit itu, kemungkinan besar adalah orang miskin. Sehingga tidak jarang di media-media diberitakan banyaknya pelaku tindakan kriminalitas, prostitusi dan kejahatan-kejahatan lainnya dipicu oleh faktor ekonomi. Naudu’billah. 

C.    Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Cinta dalam perspektif Islam adalah cinta yang didasari oleh niat yang tulus karena Allah, untuk mencari ridho Allah, dan tidak berlebihan sehingga melebihi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, atau sampai melupakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai manusia, untuk selalu beribadah dan berdzikir kepada Allah SWT.
Meskipun cinta merupakan amalan hati, tapi hendaknya kita memanivestasikan cinta sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Allah SWT, karena itu semua akan membawa kita kepada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu di akhirat kelak sesuai dengan janji Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar