“ ANUGERAH MULIA BUAH
RAMADHAN SEMPURNA “
Oleh :
DR. KH. AHMAD BUCHORY MUSLIM,
S.Psi.,MA.,ME.Sy
(Khotib /
Imam Besar Istana Presiden dan Wakil Presiden Jakarta
الله
أكبر.الله أكبر كبيرا, والحمد لله
كثيرا, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً, لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَه،
صَدَقَ وَعْدَهُ, وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَأَعَزَّجُنْدَهُ, وَهَزَمَ الأَحْزَابَ
وَحْدَهُ. لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ
لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ
وَلَوْ كَرِهَ الْمُنَافِقُوْنَ.
الْحَمْدُ
للهِ الَّذِيْ جَعَلَ رَمَضَانَ شَهْرُ الصِّيَامِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَجَعَلَ
عِيْدَ الْفِطْرِ ضِيَافَةً لِلصَّائِمِيْنَ وَفَرْحَةً لِلْمُتَّقِيْنَ، أَشْهَدُ
أَنْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ
الأَمِيْن،
اللهم فَصَلِّ
وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلهِ وَأَصْحَابِ
الْكِرَامِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ
أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar,
Allaahu Akbar Walillaahil Hamd,
Ikhwaty Fillaah A’azzaniyallaahu
Waiyyaakum,
Hari ini kaum muslimin di
seluruh dunia merayakan Idul Fitri, hari kemenagan fithroh atas nafsu,
kemanusiaan atas kebinatangan. Hari ini sejak terbenamnya sang surya di ufuk
barat, ummat Islam tak henti-hentinya melafazhkan Takbir, Tahlil dan Tahmid,
membesarkan nama Allah, mengesahkan IlaahiyahNya dan memuji keagunganNya.
Seluruh kaum Muslimin dan muslimat dari orang tua sampai anak-anak
berbondong-bondong menuju lapangan atau Masjid-masjid untuk melaksanakan sholat
`Iid, untuk bersujud kepada Allah sekaligus syiar kebesaran Islam. Inilah hari
penuh kebahagiaan, hari kemenangan.
Kebahagiaan dan kemenangan itu
diraih setelah sebulan penuh lamanya kita digembleng secara fisik, mental,
jasmani dan rohani dalam sebuah madrasah istimewa, yaitu Ramadhan. Melalui Shiyam,
Tarawih, Qiyamullail, Tadarrus, Infaq, Shadaqah, Zakat dan serangkaian amaliyah
lainnya, hari ini insya Allah kita semua merebut predikat Muttaqien
(orang-orang bertaqwa). Karena, hanya dengan menjadi orang bertaqwa sajalah
kita dapat kembali kepada fithroh (kesucian), bak bayi yang baru dilahirkan
dari rahim ibunya. Pada hari ini, tak ada lagi simponi yang paling indah dan
syahdu kecuali Takbir, Tahlil dan Tahmid. Takbir kembali ke fithroh, takbir
ni`matnya keimanan dan pertaubatan sejati.
Taubat yang oleh syekh Ibnul Qoyyim disebut sebagai
letupan keinginan untuk segera menghijrahkan hati, ledakan dan refleksi cinta
kepada Allah untuk menterjemahkan keta’atan dan kepatuhan kita sebagaimana yang
kita refleksikan di hari pertama Syawal ini.
Hari ini kita pekikakan Takbir
bukan sekedar kemenangan fisik, kemenangan dari lapar dan haus, juga bukan pula
karena terpukau oleh banyaknya kaum muslimin yang hadir di tanah-tanah lapang
dan masjid-masjid, Takbir juga bermakna kita telah menang dalam pertempuran
hebat sebagaimana pertempuran yang
disyaratkan oleh Rasulullah SAW. Hakikat dari yg dipekikkan sebagai bukti
pengagungan kepada Allah Robb yg maha mulia.
Takbir bukan awal hidup baru
yang menjauh dari syari`at Allah, tapi Takbir sebagai teriakan taubat kita
kepada Allah, sebagai wujud komitmen syahadat yg telah kita tancapkan dalam
sanubari kita, untuk tidak taat dan patuh kecuali pada Allah Al Jalil.
Dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid
itulah Rasulullaah dan kaum muslimin membangun dirinya menjadi mujahid yang
gagah perkasa. Gema Takbir, Tahlil dan Tahmid itu juga yang menggentarkan
musuh-musuh Islam setiap kali terjadi peperangan. Takbir, Tahlil dan Tahmid
adalah syiar setiap muslim dalam seluruh aktivitasnya. Karena itu, mari kita
agungkan asma Allah, kita tinggikan kalimatNya dan kita terapkan undang-undang
dan syari’atNya.
Allaahu Akbar,Allaahu Akbar,
Allaahu Akbar Walillaahil Hamd,
Ikhwaty Filllaah
A’azzaniyallaahu Waiyyaakum.
Seperti biasa bulan Ramadhan
kembali meninggalkan kita, peristiwa seperti ini sudah terjadi berulang-ulang,
tiap tahun Ramadhan datang untuk kemudian pergi lagi, sudah terlalu sering kita
alami, membuat kehadirannya dianggap hal biasa, sebagaimana bulan yang lain
kedatangannya disambut begitu saja dan kepergiannya malah seolah olah tidak
diperlukan lagi.
Padahal bulan Ramadhan adalah Bulan
Istimewa, Syahrun Azhiim, Syahrun Mubaarok, bulan agung lagi penuh barokah,
bulan yang mengandung kekuatan yang maha dahsyat, di bulan inilah senjata yang
paling ampuh untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin pada semua front
perjuangan di manapun dan kapanpun.
Sejarah kehidupan Rasulullah
menjadi saksi, hampir semua kemenangan yang direbut Rasulullaah dalam medan
jihad terjadi pada bulan Ramadhan bahkan Al-Qur’an yang mulia yang menjadi
kompas dalam hidup dan kehidupan ini, diturunkan Allah SWT dalam bulan yang
penuh ampunan ini. Begitu pula dengan semangat perjuangan para pendiri bangsa
ini memproklamirkan kemerdekaan juga dalam bulan yang penuh rahmat ini.
Sebagaimana sebuah ungkapan
yang sering kita dengar :
“ Andaikan sekiranya kaum muslimin tahu apa
yang terkandung dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka berkeinginan supaya satu
tahun itu dijadikan Ramadhan saja “
AllaahuAkbar, Allaahu
Akbar,Walillaahil hamd,
Satu hal yang patut kita
sayangkan adalah, bahwa bulan Ramadhan yang sehebat itu, sudah sekian kali
datang dan sekian kali pergi, tanpa kesan yang mendalam dan pesan menggores,
tidak ada percikan yang memadai kalau Ramadhan pernah datang. Nasib kita masih
tetap seperti semula, tertinggal dan terbelakang, tersisih dan tersudut bahkan
sampai kepada terhina dan teraniaya, sementara Ramadhan datang setiap tahun
menawarkan solusi atas segenap persoalan yang menimpa kita, belum mengundang
kesungguhan kita menyambut dan memanfaatkannya semaksimal mungkin.
Yang menyedihkan sesungguhnya,
bukan kegagalan kita memanfaatkan bulan Ramadhan untuk menyusun kekuatan,
tetapi yang menyakitkan dan juga mengherankan kita adalah peristiwa datang dan
perginya Ramadhan tanpa ada hasil yang nyata, justru dianggap hal yang tidak
perlu dipermasalahkan apalagi untuk disesali.
Kalau kita mau mencari apa kesalahan
kita, maka inilah yang perlu kita kemukakan untuk dijadikan pelajaran buat
generasi mendatang supaya jangan terulang membiarkan setiap kesempatan yang baik berlalu begitu
saja. Melewatkan peluang empuk dengan seenaknya, untuk kemudian menangisi
kemenangan yang tidak kunjung datang, sambil menyalahkan dan menuding ke sana
kemari.
Padahal secara jujur kita harus
akui, bahwa nasib yang kita alami sekarang ini adalah kesalahan kita
sepenuhnya, karena kelalaian kita menggunakan kesempatan , kelengahan kita
memanfaatkan peluang dan akhirnya musuhlah yang menguasai dan mendikte kita.
Allah SWT mengingatkan kita
dalam Al-Qur’an :
“Apa yang menimpa kamu dari kebaikan, maka
sesungguhnya dari Allah, dan apa yang kamu rasakan dari keburukan adalah
(karena ulah) dirimu sendiri. Dan sungguh Allah memaafkan kamu dari banyaknya
kesalahan“
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar,
Allaahu Akbar Walillaahil Hamd,
Allah telah berjanji, jika
benar puasa yang telah kita lakukan kemarin; niscaya kualitas taqwa akan
diberikan kepada kita. Dan jika kualitas taqwa itu benar-benar kita raih,
pastilah ada buah yang akan kita petik setelah kita melaksanakan ibadah
Ramadhan tahun ini. Buah itu berupa perubahan yang lebih baik pada diri kita,
bangsa dan masyarakat kita tentunya.
Diantara sifat orang-orang yang
muttaqin itu disebutkan ciri-cirinya oleh Allah dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ
يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ
عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan”.
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً
أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ
وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ
وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿البقرة: ١٣٤-١٣٥﴾
“Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (QS. Ali Imron [3]: 134-135).
Jika benar puasa kita, tentulah
sikap, perilaku dan karakter pribadi kita akan berubah menjadi lebih baik.
Lebih taat kepada hukum dan syari’at Allah, lebih cinta ke mesjid, lebih rendah
hati, lebih dermawan, dan sebagainya.
Pendek kata pribadi yang pikirannya, tutur katanya, sikap dan
perilakunya, pekerjaannya tidak ada lain selain kebajikan. Pribadi seperti
itulah yang seharusnya dihasilkan dari ibadah Ramadhan.
Ma’asyiral muslimin.
Allah berfirman:
أَفَمَنْ
أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ
أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىَ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿التوبة: ١٠٩﴾
“Maka apakah orang-orang yang
mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu
yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang
runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka
Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
(QS. At-Taubah [9]: 109)
Seolah-olah Allah bertanya
kepada kita: “Mana yang lebih baik? Apakah orang-orang yang membangun hidupnya
dan masa depannya dengan ketaqwaan kepada Allah dan meraih keridhaan-Nya,
ataukah orang-orang yang membangun bangunan masa depan hidupnya dengan dosa dan
kemaksiatan, merugiakan orang banyak, pelanggaran terhadap aturan dan syari’at
Allah?”
Ali RA berkata: “Alangkah
indahnya kebajikan itu. Seandainya kebajikan itu sesosok manusia ia adalah
manusia yang sangat tampan. Dan alangkah buruknya kekejian itu. Seandainya
kekejian itu sesosok manusia, maka ia adalah manusia yang sangat buruk
mukanya”.
Sudah menjadi sunnatullah,
setiap kita menyukai orang-orang yang hidupnya digunakan untuk berbuat
kebajikan, menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia. Setiap kita mengagumi
orang-orang yang suka meringankan penderitaan orang-orang miskin dan memenuhi
hak-hak orang-orang mustadzafin. Perilaku seperti itu pula yang membuat Allah
mencintai, meridhai serta menolong apa yang menjadi hajat kebutuhan dari
hamba-Nya.
Ma’asyiral muslimin.
Ketika Rasulullah SAW baru
datang dari Goa Hira’ setelah ditemui oleh Malaikat Jibril, saat wahyu pertama
diturunkan; badan beliau menggigil disertai ketakutan. Istri beliau, Sayyidah Khadijah meyakinkan
beliau dengan ungkapannya:
كَلاَّ ,
وَاللهِ، مَا يُخْزِيكَ اللهُ
“Tidak...! Demi Allah Dia tidak
akan menjadikanmu nestapa selamanya”.
Jaminan apa yang membuat
Khadijah begitu yakin? Tentu keyakinan Khadijah ini bukan tanpa alasan.
Khadijah menegaskan:
إِنَّكَ
لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي
الضَّيْفَ، وَتُعِين عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Karena engkau telah menyambung
kekerabatan, memikul beban orang yang keletihan, mengusahakan kebutuhan
orang-orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong orang-orang yang
mempunyai hak”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Khadijah yakin dengan haqul
yakin tidak mungkin Allah menjadikan berduka selamanya kepada orang yang sebaik
Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjaga kemurnian imannya, berakhlaq mulia,
selalu berbuat kebajikan dalam kehidupannya.
Allahu akbar ... 3x wa lillahil
hamd.
Ma’asyiral muslimin.
Marilah kita renungkan.
Pernahkan kita melihat orang-orang yang berbuat kebajikan itu merasa berduka?
Pernahkah kita menyaksikan orang-orang yang jujur itu didera rasa takut? Dan
pernahkan kita melihat orang-orang yang selalu meringankan beban penderitaan
orang lain itu kekurangan teman? Pasti tidak! Bahkan orang-orang yang berbuat
kebajikan itu akan mendapati keberkahan dalam hidupnya yang berlipat ganda.
Dalam Al-Qur’an Allah memberi
tamsil (perumpamaan) kepada orang-orang yang menanam kebajikan dalam
kehidupannya.
مَّثَلُ
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ
يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿البقرة: ٢٦١﴾
“Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir:
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]:
261)
Kebajikan itu pastilah akan
berbuah kebaikan, dan kejahatan akan berbuah kejelekan pula. Maka barangsiapa
yang menanam benih kebajikan ia pasti akan memetik kebaikan dalam hidupnya. Dan
barangsiapa menanam benih kejahatan, ia akan memetik kesusahan, kesedihan dan
penderitaan dalam kehidupannya. Bukan saja sesudah ia mati, tetapi akan
dialaminya saat masih di dunia ini juga.
إِنْ
أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ﴿الإسرأ: ٧﴾
“Jika kamu berbuat baik
(berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat
maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra’ [17]: 7)
Rasulullah SAW berbuat
kebajikan ketika banyak orang berbuat kemunkaran, Rasulullah SAW tetap menjaga
kesucian diri ketika budaya di sekelilingnya bergelimang kemaksiatan,
Rasulullah SAW membela orang-orang yang terpinggirkan ketika semua orang
meninggalkan, Rasulullah SAW bersedekah ketika banyak orang bakhil dengan
hartanya.
Para sahabat Rasulullah SAW pun
demikian. Dalam keadaan sempit, serba kekurangan mereka tetap berkorban untuk
melakukan kebajikan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Ketika para sahabat
diminta membela Agama Allah; mereka
datang ke Badar, mereka pergi ke Uhud tanpa disertai harta, kuda, dirham maupun
dinar. Tetapi mereka tetap teguh menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah.
Mereka pun bersuci, kemudian menghadap ke arah Kiblat seraya mengangkat
pedangnya dan berdo’a:
“Yaa Allah... kami tidak
memiliki harta dunia. Kami hanya memiliki diri kami dan kini kami
menyerakhannya kepada-Mu. Maka terimalah persembahan kami ini yaa Allah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar