Search

Sabtu, 24 Juni 2017

Khutbah Idul Fitri 1438 H



“ ANUGERAH MULIA BUAH RAMADHAN SEMPURNA “
Oleh :
DR. KH. AHMAD BUCHORY MUSLIM, S.Psi.,MA.,ME.Sy
(Khotib / Imam Besar Istana Presiden dan Wakil Presiden Jakarta
Direktur An Nahl Institute Jakarta)
Di Masjid Agung Asy-syuhada Pamekasan

الله أكبر.الله أكبر كبيرا, والحمد لله كثيرا, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً, لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَه، صَدَقَ وَعْدَهُ, وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَأَعَزَّجُنْدَهُ, وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُنَافِقُوْنَ.
الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ رَمَضَانَ شَهْرُ الصِّيَامِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَجَعَلَ عِيْدَ الْفِطْرِ ضِيَافَةً لِلصَّائِمِيْنَ وَفَرْحَةً لِلْمُتَّقِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْن،
اللهم فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلهِ وَأَصْحَابِ الْكِرَامِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillaahil Hamd,
Ikhwaty Fillaah A’azzaniyallaahu Waiyyaakum,
Hari ini kaum muslimin di seluruh dunia merayakan Idul Fitri, hari kemenagan fithroh atas nafsu, kemanusiaan atas kebinatangan. Hari ini sejak terbenamnya sang surya di ufuk barat, ummat Islam tak henti-hentinya melafazhkan Takbir, Tahlil dan Tahmid, membesarkan nama Allah, mengesahkan IlaahiyahNya dan memuji keagunganNya. Seluruh kaum Muslimin dan muslimat dari orang tua sampai anak-anak berbondong-bondong menuju lapangan atau Masjid-masjid untuk melaksanakan sholat `Iid, untuk bersujud kepada Allah sekaligus syiar kebesaran Islam. Inilah hari penuh kebahagiaan, hari kemenangan.
Kebahagiaan dan kemenangan itu diraih setelah sebulan penuh lamanya kita digembleng secara fisik, mental, jasmani dan rohani dalam sebuah madrasah istimewa, yaitu Ramadhan. Melalui Shiyam, Tarawih, Qiyamullail, Tadarrus, Infaq, Shadaqah, Zakat dan serangkaian amaliyah lainnya, hari ini insya Allah kita semua merebut predikat Muttaqien (orang-orang bertaqwa). Karena, hanya dengan menjadi orang bertaqwa sajalah kita dapat kembali kepada fithroh (kesucian), bak bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Pada hari ini, tak ada lagi simponi yang paling indah dan syahdu kecuali Takbir, Tahlil dan Tahmid. Takbir kembali ke fithroh, takbir ni`matnya keimanan dan pertaubatan sejati.
Taubat yang  oleh syekh Ibnul Qoyyim disebut sebagai letupan keinginan untuk segera menghijrahkan hati, ledakan dan refleksi cinta kepada Allah untuk menterjemahkan keta’atan dan kepatuhan kita sebagaimana yang kita refleksikan di hari pertama Syawal ini.
Hari ini kita pekikakan Takbir bukan sekedar kemenangan fisik, kemenangan dari lapar dan haus, juga bukan pula karena terpukau oleh banyaknya kaum muslimin yang hadir di tanah-tanah lapang dan masjid-masjid, Takbir juga bermakna kita telah menang dalam pertempuran hebat  sebagaimana pertempuran yang disyaratkan oleh Rasulullah SAW. Hakikat dari yg dipekikkan sebagai bukti pengagungan kepada Allah Robb yg maha mulia.
Takbir bukan awal hidup baru yang menjauh dari syari`at Allah, tapi Takbir sebagai teriakan taubat kita kepada Allah, sebagai wujud komitmen syahadat yg telah kita tancapkan dalam sanubari kita, untuk tidak taat dan patuh kecuali pada Allah Al Jalil.
Dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid itulah Rasulullaah dan kaum muslimin membangun dirinya menjadi mujahid yang gagah perkasa. Gema Takbir, Tahlil dan Tahmid itu juga yang menggentarkan musuh-musuh Islam setiap kali terjadi peperangan. Takbir, Tahlil dan Tahmid adalah syiar setiap muslim dalam seluruh aktivitasnya. Karena itu, mari kita agungkan asma Allah, kita tinggikan kalimatNya dan kita terapkan undang-undang dan syari’atNya.
Allaahu Akbar,Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillaahil Hamd,
Ikhwaty Filllaah A’azzaniyallaahu Waiyyaakum.
Seperti biasa bulan Ramadhan kembali meninggalkan kita, peristiwa seperti ini sudah terjadi berulang-ulang, tiap tahun Ramadhan datang untuk kemudian pergi lagi, sudah terlalu sering kita alami, membuat kehadirannya dianggap hal biasa, sebagaimana bulan yang lain kedatangannya disambut begitu saja dan kepergiannya malah seolah olah tidak diperlukan lagi.
Padahal bulan Ramadhan adalah Bulan Istimewa, Syahrun Azhiim, Syahrun Mubaarok, bulan agung lagi penuh barokah, bulan yang mengandung kekuatan yang maha dahsyat, di bulan inilah senjata yang paling ampuh untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin pada semua front perjuangan di manapun dan kapanpun.
Sejarah kehidupan Rasulullah menjadi saksi, hampir semua kemenangan yang direbut Rasulullaah dalam medan jihad terjadi pada bulan Ramadhan bahkan Al-Qur’an yang mulia yang menjadi kompas dalam hidup dan kehidupan ini, diturunkan Allah SWT dalam bulan yang penuh ampunan ini. Begitu pula dengan semangat perjuangan para pendiri bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan juga dalam bulan yang penuh rahmat ini.
Sebagaimana sebuah ungkapan yang sering kita dengar :
 “ Andaikan sekiranya kaum muslimin tahu apa yang terkandung dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka berkeinginan supaya satu tahun itu dijadikan Ramadhan saja “
AllaahuAkbar, Allaahu Akbar,Walillaahil hamd,
Satu hal yang patut kita sayangkan adalah, bahwa bulan Ramadhan yang sehebat itu, sudah sekian kali datang dan sekian kali pergi, tanpa kesan yang mendalam dan pesan menggores, tidak ada percikan yang memadai kalau Ramadhan pernah datang. Nasib kita masih tetap seperti semula, tertinggal dan terbelakang, tersisih dan tersudut bahkan sampai kepada terhina dan teraniaya, sementara Ramadhan datang setiap tahun menawarkan solusi atas segenap persoalan yang menimpa kita, belum mengundang kesungguhan kita menyambut dan memanfaatkannya semaksimal mungkin.
Yang menyedihkan sesungguhnya, bukan kegagalan kita memanfaatkan bulan Ramadhan untuk menyusun kekuatan, tetapi yang menyakitkan dan juga mengherankan kita adalah peristiwa datang dan perginya Ramadhan tanpa ada hasil yang nyata, justru dianggap hal yang tidak perlu dipermasalahkan apalagi untuk disesali.
Kalau kita mau mencari apa kesalahan kita, maka inilah yang perlu kita kemukakan untuk dijadikan pelajaran buat generasi mendatang supaya jangan terulang membiarkan  setiap kesempatan yang baik berlalu begitu saja. Melewatkan peluang empuk dengan seenaknya, untuk kemudian menangisi kemenangan yang tidak kunjung datang, sambil menyalahkan dan menuding ke sana kemari.
Padahal secara jujur kita harus akui, bahwa nasib yang kita alami sekarang ini adalah kesalahan kita sepenuhnya, karena kelalaian kita menggunakan kesempatan , kelengahan kita memanfaatkan peluang dan akhirnya musuhlah yang menguasai dan mendikte kita.
Allah SWT mengingatkan kita dalam Al-Qur’an :
“Apa yang menimpa kamu dari kebaikan, maka sesungguhnya dari Allah, dan apa yang kamu rasakan dari keburukan adalah (karena ulah) dirimu sendiri. Dan sungguh Allah memaafkan kamu dari banyaknya kesalahan“
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillaahil Hamd,
Allah telah berjanji, jika benar puasa yang telah kita lakukan kemarin; niscaya kualitas taqwa akan diberikan kepada kita. Dan jika kualitas taqwa itu benar-benar kita raih, pastilah ada buah yang akan kita petik setelah kita melaksanakan ibadah Ramadhan tahun ini. Buah itu berupa perubahan yang lebih baik pada diri kita, bangsa dan masyarakat kita tentunya.
Diantara sifat orang-orang yang muttaqin itu disebutkan ciri-cirinya oleh Allah dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
 وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿البقرة: ١٣٤-١٣٥﴾
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (QS. Ali Imron [3]: 134-135).
Jika benar puasa kita, tentulah sikap, perilaku dan karakter pribadi kita akan berubah menjadi lebih baik. Lebih taat kepada hukum dan syari’at Allah, lebih cinta ke mesjid, lebih rendah hati, lebih dermawan, dan sebagainya.  Pendek kata pribadi yang pikirannya, tutur katanya, sikap dan perilakunya, pekerjaannya tidak ada lain selain kebajikan. Pribadi seperti itulah yang seharusnya dihasilkan dari ibadah Ramadhan.
Ma’asyiral muslimin.
Allah berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىَ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿التوبة: ١٠٩﴾
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. At-Taubah [9]: 109)
Seolah-olah Allah bertanya kepada kita: “Mana yang lebih baik? Apakah orang-orang yang membangun hidupnya dan masa depannya dengan ketaqwaan kepada Allah dan meraih keridhaan-Nya, ataukah orang-orang yang membangun bangunan masa depan hidupnya dengan dosa dan kemaksiatan, merugiakan orang banyak, pelanggaran terhadap aturan dan syari’at Allah?”
Ali RA berkata: “Alangkah indahnya kebajikan itu. Seandainya kebajikan itu sesosok manusia ia adalah manusia yang sangat tampan. Dan alangkah buruknya kekejian itu. Seandainya kekejian itu sesosok manusia, maka ia adalah manusia yang sangat buruk mukanya”.
Sudah menjadi sunnatullah, setiap kita menyukai orang-orang yang hidupnya digunakan untuk berbuat kebajikan, menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia. Setiap kita mengagumi orang-orang yang suka meringankan penderitaan orang-orang miskin dan memenuhi hak-hak orang-orang mustadzafin. Perilaku seperti itu pula yang membuat Allah mencintai, meridhai serta menolong apa yang menjadi hajat kebutuhan dari hamba-Nya.
Ma’asyiral muslimin.
Ketika Rasulullah SAW baru datang dari Goa Hira’ setelah ditemui oleh Malaikat Jibril, saat wahyu pertama diturunkan; badan beliau menggigil disertai ketakutan.  Istri beliau, Sayyidah Khadijah meyakinkan beliau dengan ungkapannya:
كَلاَّ , وَاللهِ، مَا يُخْزِيكَ اللهُ
“Tidak...! Demi Allah Dia tidak akan menjadikanmu nestapa selamanya”.
Jaminan apa yang membuat Khadijah begitu yakin? Tentu keyakinan Khadijah ini bukan tanpa alasan. Khadijah menegaskan:
إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِين عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Karena engkau telah menyambung kekerabatan, memikul beban orang yang keletihan, mengusahakan kebutuhan orang-orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong orang-orang yang mempunyai hak”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Khadijah yakin dengan haqul yakin tidak mungkin Allah menjadikan berduka selamanya kepada orang yang sebaik Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjaga kemurnian imannya, berakhlaq mulia, selalu berbuat kebajikan dalam kehidupannya.
Allahu akbar ... 3x wa lillahil hamd.
Ma’asyiral muslimin.
Marilah kita renungkan. Pernahkan kita melihat orang-orang yang berbuat kebajikan itu merasa berduka? Pernahkah kita menyaksikan orang-orang yang jujur itu didera rasa takut? Dan pernahkan kita melihat orang-orang yang selalu meringankan beban penderitaan orang lain itu kekurangan teman? Pasti tidak! Bahkan orang-orang yang berbuat kebajikan itu akan mendapati keberkahan dalam hidupnya yang berlipat ganda.
Dalam Al-Qur’an Allah memberi tamsil (perumpamaan) kepada orang-orang yang menanam kebajikan dalam kehidupannya.
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿البقرة: ٢٦١﴾
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 261)
Kebajikan itu pastilah akan berbuah kebaikan, dan kejahatan akan berbuah kejelekan pula. Maka barangsiapa yang menanam benih kebajikan ia pasti akan memetik kebaikan dalam hidupnya. Dan barangsiapa menanam benih kejahatan, ia akan memetik kesusahan, kesedihan dan penderitaan dalam kehidupannya. Bukan saja sesudah ia mati, tetapi akan dialaminya saat masih di dunia ini juga.
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ﴿الإسرأ: ٧﴾
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra’ [17]: 7)
Rasulullah SAW berbuat kebajikan ketika banyak orang berbuat kemunkaran, Rasulullah SAW tetap menjaga kesucian diri ketika budaya di sekelilingnya bergelimang kemaksiatan, Rasulullah SAW membela orang-orang yang terpinggirkan ketika semua orang meninggalkan, Rasulullah SAW bersedekah ketika banyak orang bakhil dengan hartanya.
Para sahabat Rasulullah SAW pun demikian. Dalam keadaan sempit, serba kekurangan mereka tetap berkorban untuk melakukan kebajikan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Ketika para sahabat diminta membela  Agama Allah; mereka datang ke Badar, mereka pergi ke Uhud tanpa disertai harta, kuda, dirham maupun dinar. Tetapi mereka tetap teguh menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah. Mereka pun bersuci, kemudian menghadap ke arah Kiblat seraya mengangkat pedangnya dan berdo’a:
“Yaa Allah... kami tidak memiliki harta dunia. Kami hanya memiliki diri kami dan kini kami menyerakhannya kepada-Mu. Maka terimalah persembahan kami ini yaa Allah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar