Masjid
Agung Asy-Syuhada
Kabupaten
Pamekasan
Penerus
Masèghit Rato 1530
Diterbitkan
oleh
Yayasan
Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada Pamekasan
Jln.
Mesigit No. 23 Tlp/Fax. (0324) 329850 Pamekasan-Madura.
E-mail
: masjidjamik@gmail.com
Website
: www.masjid-agung-pmk.blogspot.com
Pamekasan-Madura-Jawa Timur-Indonesia.
Masjid Agung Asy-Syuhada’ Pamekasan
Penerus Masèghit
Rato 1530
Dalam usiaku yang sudah tinggi ini, Apabila
karyaku ini sedikit ada pahala dari Yang Maha Esa ,aku persembahkan kepada
ayah-bundaku, R. Achmad Sadik & R. St Salama almarhum- almarhumah dan istriku
R. Lailatul Baddriyah almarhumah yang telah melahirkan anak-anakku, namun bila
ada kesalahan di dalamnya akulah yang menanggungnya dan aku memohonkan ampun kepada-Nya“ Allahummagfir lahuma, warham
huma, Waj’aliljannata matswahuma !”
Amien
A.Sulaiman
Sadik
SAMBUTAN
KEPALA
KANTOR KEMENTERIAN AGAMA
KABUPATEN PAMEKASAN
Assalamu’alaikum
wr.wb
Sesuai
dengan pola tata kehidupan masyarakat Madura, yang memiliki karakter Islam,
maka saat ini muncullah masjid-masjid baru dengan ukuran yang bervariasi dari
yang sederhana hingga kepada yang indah dan megah.
Melihat
perkembangan masjid kota Pamekasan yang semula
dimotori oleh Raja Pamekasan, sendiri lima
abad yang silam, sungguh sangat menggembirakan. Selain bentuk makin bertambah
cantik, segala sarana keperluan peribadatan di dalamnya makin terpepenuhi.
Kiranya
usaha Ketua Umum Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang
telah melengkapi dengan Lembaga Pendidikan dan Dakwah termasuk di dalamnya Perpustakaan Masjid untuk memakmurkannya,
diharapkan para Jamaah Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan menjadi
tidak miskin pengetahuan khususnya tentang sejarah dan kesejarahan masjid,
utamanya masjid kita yang telah menjadi saksi sejarah saat Bangsa Indonesia di
Madura mempertahankan Kemerdekaannya dari Si Angka ramurka penjajah juga
musuh-musuh Islam.
Semuga
buku yang sederhana ini dan penyebarluasannya isinya, yang merupakan hasil
kajian pustaka dapat dijadikan tuntunan bagi siapa saja yang ingin mengetahui
tentang Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang telah menghiasi kota Pamekasan.
Demikianlah
semuga Allah selalu memberi rahmat, taufik dan hidayah-Nya bagi kita semua.
Amien.
Wallahulmuwaffiq
ilaa Aqwamiththoriq
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pamekasan,
tanggal :16 Mei 2011
Kantor
Kementerian Agama
Kabupaten
Pamekasan.
KEPALA,
(KH.
ABD. WAHID, S.Ag., MM.)
KATA PENGANTAR
PENYUSUN
Assalamu’laikum wr.wb
Buku
hasil penelitian Pustaka ini penyusun rangkum bermula atas permintaan Ketua Umum
Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan. Beliau ingin Perpustakaan
Masjid Agung Asy-Syuhada’ melengkapi koleksinya dengan catatan tentang
keberadaan Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan dengan segala yang terkait selama perjalanannya dari
berbagai jaman yang dilaluinya termasuk masuknya agama Islam itu sendiri ke
Madura khususnya ke daerah kita, Pamekasan.
Alhamdulillah,
berkat Rahmat-Nya dan pertolongan-Nya apa yang kita inginkan saat ini sudah
terwujud dan telah berada di tangan pembaca.
Dengan
tersajinya rangkuman ini kepada pembaca semoga memberi tambahan pengetahuan,
bila hal tersebut merupakan kebajikan semoga kebajikan tersebut mendapat ridlo
dari Allah SWT.
Tiada
gading yang tak retak, maka dengan ini penyusun
menyadari bahwa buku ini tentu tidak terlepas dari kekurangan baik dari
segi jangkauan ruang lingkupnya maupun tutur bahasanya atau tatanan redaksinya.
Oleh sebab itu penyusun secara terbuka menerima nasihat dan kritik yang
membangun yang ditujukan langsung kepada penyusun.
Semoga
buku ini dapat memberikan sumbangan walau ala kadarnya kepada hasanah pustaka,
informasi, pemikiran bagi pembaca termasuk sumbangan kajian dan renungan bagi
kita penerus mereka yang telah menciptakan sejarah bagi kita.
Billahit
taufik wal hidayah.
Pamekasan, 16 Mei 2011.
12 Jumadil Awal 1432.
Penyusun,
(A. SULAIMAN
SADIK.)
KATA
PENGANTAR
KETUA
UMUM YAYASAN TAKMIR MASJID AGUNG
“
ASY-SYUHADA’ “
KABUPATEN
PAMEKASAN
Assalamu’alikum.
Wr Wb
Perasaan
keagamaan yang mendalam sesudah merenungkan dan membaca banyak buku tentang
Islam, telah menimbulkan rasa keinginan untuk mendalami ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan Islam, khususnya tentang keberadaan Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan.
Semua
keinginan tersebut tercipta karena dorongan perasaan cinta Islam yang dalam dan
keimanan yang murni, walaupun buku ini sangat sederhana diharapkan agar bisa
memberi kesimpulan kepada pembacanya, bahwa Islam dapat membangkitkan perasaan
murni yang membangunkan dan menghidupkan jiwa, memancarkan sinar cemerlang yang
telah menerbitkan pintu-pintu penelitian sehingga manusia berhasil mendapatkan
jalan kearah kebenaran, yaitu Allah Yang Maha Benar dan Maha Suci.
Perasaan-perasaan
keagamaan yang tersembunyi jauh dalam lubuk hati itu mereka manifestasikan
dengan mendirikan dan mendesain bangunan masjid-masjid yang indah tempat menyembah
Allah.
Kita
setelah berhasil mengembangkan Masêghit Rato menjadi masjid yang megah dalam ukuran kita
seperti Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten pamekasan ini setelah kurang lebih lima ratus tahun setelah keberadaannya masjid pertama di kota kita, segala puji
bagi Allah yang telah menolong kita membangun masjid berkubah ini yang lebih
indah dari mesjid kita sebelumnya.
Penulisan
buku ini semoga diridloi-Nya, karena hanya Allah jualah Penghitung Amal yang
paling sempurna.
Wallahulmuwaffiq
ilaa Aqwamiththoriq
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pamekasan, 16
Mei 2011
Yayasan Takmir
Masjid Agung Asy-Syuhada,
Kabupaten Pamekasan
KETUA UMUM,
(Drs. H. RP.
ABD. MUKTI, M.Si.)
SEKAPUR
SIRIH
DARI
JAMAAH MASJID AGUNG ASY-SYUHADA’
KABUPATEN PAMEKASAN
Masjid,
peran dan fungsinya, sentral bagi umat Islam. Di masjid seorang muslim sholat
berjemaah, bermunajad di hadapan Allah SWT, berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Di
masjid seorang muslim menitipkan amal shadaqahnya untuk disampaikan kepada
sesama yang membutuhkan. Di masjid anak-anak belajar baca tulis Al-Quran dan
menerima pendidikan agar menjadi muslim sejati. Di masjid seorang muslim
bersilahturahmi dengan sesama dan berdiskusi tentang kebaikan dan kemajuan
umat. Idealnya memang sebuah masjid menjadi pusat ibadah dan pusat tamaddun.
Demikian
halnya dengan Masjid Agung Asy-Syuhada’ (MAAS)
Kabupaten Pamekasan. Jama’ah shalat rawatib semakin ramai, termasuk jamaah
ibu-ibu; shadaqah jamaah semakin besar jumlahnya; anak-anak yang belajar di
Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan semakin banyak. Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan menebarkan shadaqah dan menyantuni anak yatim. Tak urung
lagi, Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan makin makmur, menuju masjid
yang ideal.
Buku
Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan
(penerus Masèghit Rato-1530), karya A. Sulaiman Sadik yang
diterbitkan oleh Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan,
memaparkan sebuah perjalanan masjid ini sejak bernama Masèghit Rato hingga menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan. Di samping sejarah, juga dipaparkan upaya nyata yang
dilakukan Takmir serta kondisi masjid. Kami yakin, Jamaah Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan menyambut gembira terbitnya buku ini.
Mereka
yang membaca buku ini di samping bisa mengetahui tentang apa dan bagaimana
Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan, juga diharapkan akan meningkat
kecintaan terhadap masjid
Pamekasan,
16 Mei 2011.
12
Jumadil Awal 1432.
(Drs.
H. KADARISMAN SASTRODIWIRJO, M.Si.)
DAFTAR ISI
- Halaman Judul , 2
- ------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Pernyataan & Doa Penyusun, 3
- Kata Sambutan Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Pamekasan, 4
- Kata Sambutan Bupati Pamekasan, 5
- Kata Pengantar dari Penyusun, 6
- Kata Pengantar Ketua Umum Yayasan Takmir Masjid Agung Asy Syuhada Kabupaten Pamekasan,7
- Sekapur Sirih dari Jamaah, 8
- Daftar Isi, 9
- ------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Pendahuluan , 10
- Agama Islam masuk Madura, 11
- Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan, Sejarah pembangunannya, 17
- Pemugaran dan perluasan Masjid, 20
- Ruang dan Interior Masjid , 27
- Fungsi Masjid , 42
- Penutup , 51
- -----------------------------------------------------------------------------------------------------
- Pustaka Kajian , 52
- -----------------------------------------------------------------------------------------------------
Lampiran-lampiran
, 53
-----ASAS-----
PENDAHULUAN
اعوعذ بالله من ا
لشيطان١لژجيم لبسم ١لله ١لژحمن ١لٌر
حيم والٌصل١ة و
١لسٌل١م علی سيٌد ن١محمٌد وعل١له وصحبه ولتٌ١بعن١لى يو م١لد ين
Saya mohon
pertolongan Allah dari pengaruh syetan yang terkutuk saya mulai naskah ini dengan menyebut nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Penyayang mohon pertolongan dan taufik dari pada-Nya
diiringi dengan doa mudah-mudahan salawat dan salam senantiasa dilimpahkan
Allah atas panutan umat, Nabi Muhammad Saw Dan atas semua keluarga sahabat dan
pengikut-pengikut beliau sambung bersambung sampai hari kiamat. pendiri Pajang dan pendiri
Majapahit membentuk Dinasti baru di Madura.
Dalam hal perkembangan keagamaan, Madura
sepenuhnya mengikuti tumbuh dan berkembangnya agama di Jawa. Seperti mundurnya Agama
Budha yang kemudian munculnya Agama Islam di Jawa, demikian pula di Madura.
Agama Islam kemudian menjadi karakter
orang Madura. Tak seorangpun orang Madura yang tidak mengaku Islam, kalaupun
ada mereka yang tidak Islam mereka tidak berani terus terang bahwa dirinya
bukan Islam, Kalau mereka berani terus terang bahwa dirinya bukan Islam, mereka
oleh masyarakat akan dikeluarkan sebagai orang Madura. Seperti
para penguasa Madura di jaman Hindu / Budha di jaman Islam pun para penguasa
juga menjadi peminpin Agama dan baru setelah Madura berada di tangan Mataram,
penyelenggaraan Agama bagi masyarakat dilaksanakan oleh orang yang ditunjuk
oleh penguasa dalam makna Peminpin Agama berada dibawah pengaruh para penguasa.
Tulisan ini penulis angkat dari hasil kajian pustaka yang penulis tekuni sejak
lama yang mendapat dorongan untuk
menyajikan Sejarah keberadaan masjid di Kabupaten Pamekasan. Dalam hal ini
banyak pendekatan yang dipakai untuk penelusuran, walaupun demikian penulis
masih tetap menggunakan informasi yang masih bisa diperimbangkan sebagai
sumber, atau menggunakan imajinasi
bilamana terpaksa harus dilakukan yang pada hakikatnya dalam penulisan sejarah
dibenarkan. Walaupn demikian spekulasi yang penulis ambil yang memiliki
keterkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Obyek studi pustaka diakui memang sangat beragam, namun tidak
semua dari yang ada tersebut yang dapat penulis angkat. Karena itu mengingat
metodologi tersebut di atas maka pustaka yang ada dipilih secara selektif
stratifikasi berdasar perkembangan jaman
secara kronologis.
Bagi penulis, kebudayaan Islam sudah sangat dinamis dan ini terlihat
pada :
- Seorang Muslim menghargai akal pikiran manusia.
- Islam menganjurkan pemeluknya untuk menuntut ilmu, baik ilmu yang diwahyukan (Ilmu yang disebutkan dalam kitab suci yang diturunkan melalui para anbiya), ilmu yang diilhamkan, ilmu yang diperoleh lewat para pemikir. Ataupun ilmu yang dihamparkan. (sebagaimana kita bisa mengetahui terjadinya hujan)
- Islam melarang pemeluknya menjadi Pak Turut sebagaimana difirmankan Allah dalam Al Qur’an:
- “ Dan janganlah engkau turut-turutan saja dalam hal yang engkau tidak ketahui (karena) sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta hati, semuanya itu akan ditanya tentang hal itu “ (ayat 38 )
- Islam mengajarkan pemeluknya untuk berinisiatif dan berkreasi. Agama Islam menganjurkan agar selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan, merintis jalan, berinisiatif, untuk dunia yang ber-manfaat bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi SAW ;
- “ Barang siapa memenuhi suatu cara (dalam keduniaan) yang baik ia akan dapat ganjaran sebanyak ganjaran orang yang menggunakan cara yang baik itu sampai hari kiamat. “ (Al-Hadist.)
- Islam melarang kepada pemeluknya mengabaikan dunia. Pengumpulan dunia bagi umat Islam adalah dengan cara yang telah dituntunkan oleh Agama, bukan sekehendak hatinya , :
- ” Tuntutlah dengan apa yang telah diberikan Allah kepadamu, negeri akhirat dan jangan kamu lupakan nasibmu di atas dunia ini .” (Q Al-Qasas , ayat 77 )
- Agama Islam menganjurkan kepada pengikutnya untuk melakukan akulturasi / mengadakan hubungan antar sesama, kerabat dan keluarga, bertukar pikiran dan memahami ilmu pengetahuan. : Allah SWT berfirman :
- “ Tidak mereka berjalan di atas bumi, supaya mereka mempunyai akal untuk berfikir, atau telinga untuk mendengar, karena sesungguhnya bukan mata mereka yang buta melainkan hati mereka yang ada dalam dada mereka “ (Q Al Haj,46)
MASUKNYA AGAMA ISLAM DI MADURA
Datangnya
Agama Islam di Pulau Jawa bertepatan masih jayanya Majapahit yang saat itu dipimpin
oleh Raja Hayamwuruk Rajasanegara atau Brawijaya ke-IV dengan patihnya yang
bernama Gajah Mada. Saat itu raja merupakan juga pemimpin, karena itu sejalan
dengan kemasyhuran Hayamwuruk dan Gajah Mada yang beragama Budha, agama Budha pun
menjadi kuat perkembangannya dalam masyarakat. Saat seperti itu Agama Islam
bagi Rakyat masih merupakan agama
pendatang baru yang dibawa para pedagang dari Gujarat di India dan pedagang
Cina yang datang melalui Campa. Agama Islam masuk Madura.
Dalam
fakta yang ada dalam historiografi masuknya Agama Islam ke Madura sangat sulit
ditemukan namun data dari sumber tradisi lisan yang hampir selalu digali
melalui wawancara. Dengan demikian sentesis dilakukan dengan mengusut dan
menarik hubungan intrinsik atas fakta berdasarkan teori kecocokan.
Di
antaranya yang memerintah di Madura (Pamadekan, Sampang) yaitu yang bernama
Bondan Kejawan atau Lembu Petteng. Walaupun disebut-sebut bahwa Lembu Petteng
beragama Islam, namun putera-puteranya tak seorangpun yang menganut Agama Islam,
putera-putera Lembu Petteng tersebuut cenderung mentaati keinginan ibunya yang masih
beragama Budha. Karena itulah kemudian Lembu Petteng meninggalkan posnya di
Madekan pergi ke Ampel untuk mengabdi kepada Sunan Ampel.
Dari
Lembu Petteng inilah keturunannya menyebar kedaerah Madura Barat yang kemudian
dikenal sebagai Raden Pratanu raja di Arosbaya dan Ronggosukowati raja
Pamekasan. Beberapa data dari sumber tradisi lisan dan tulis tentang masuknya
Agama Islam ke Madura dapat disebutkan antara lain:
Disebutkan
bahwa keponakan Lembu Petteng yang bernama Aryo Menaksunoyo, putera dari Ki Aryo
Damar membuka daerah baru yang saat ini kita kenali bernama Proppo. Di kemudian
hari dua keluarga bersaudara seayah tersebut (Lembu Petteng dan Aryo Damar)
bersatu dalam pernikahan dari keturunan mereka. Ki Aryo Pojok keturunan
ke-4 dari Aryo Damar di Madura menikah dengan Nyi Ageng Budho
puteri Aryo Pratikel atau cicit dari Lembu Petteng. Dari pernikahan ini lahir
seorang putera yang kemudian menjadi demang di Plakaran (Daerah barat laut dari
Pamadekan), karena itu beliau disebut
Ki Demang Plakaran. Ki Demang Plakaran ini mempunyai putera
diantaranya ada yang bernama Aryo Pragolbo yang disebut juga Pangeran
Plakaran dan diantara putera Pragolbo ada yang bernama Raden Pratanu
dan Raden Pramono. Raden Pratanu kemudian menjadi raja di Arosbaya dan Raden Pramono kemudian menikah dengan Nyi
Banu Ratu Pamelingan puteri dari Ki Aryo Mengo. Dari perkawinan ini lahirlah
seorang laki-laki yang diberi nama Pangeran Nugeroho yang kemudian
menjadi raja Pamelingan. Beliau mempunyai beberapa orang putera dan puteri
salah seorang puteranya diangkat menjadi adipati di Pamadekan. Puteranya yang
lain bernama Raden Aryo Seno oleh kakandanya, adipati Pamadekan diangkat
menjadi rangga, karenanya Raden Arya Sena lalu dikenal bernama Pangeran
Rangga yang kemudian menjadi raja di Pamelingan dan bergelar Ronggosukowati.
Dalam
bukunya yang berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, HJ.De Graaf &
TH.Pegeaud menulis antara lain tentang Madura sebagai berikut :
“ Adanya
hubungan dengan jatuhnya kerajaan kafir Majapahit lalu menjadi lebih masuk
akal, apabila cerita tutur Madura Barat tentang masuk Islamnya raja Islam
pertama benar. Karena mimpi putera mahkota, seorang patih Madura bernama Empu
Bagna diutus ke Jawa Tengah untuk mengetahui seluk-beluk keadaan di sana. Ia menyerah kepada
Sunan Kudus untuk diislamkan dan sekembalinya di Madura Barat ia dapat
menggerakkan hati tuannya sang putera mahkota, untuk berbuat demikian pula ”
Di
buku lain, buku R. Zainal Fatah, tulisan yang berkaitan dengan masuknya Agama
Islam ke Madura, beliau menulis sebagai berikut :
“ …
yaitu Kiyai Pratanu, beliau sangat dicintai oleh ayah-bundanya. Beliau
diperkenankan mendirikan sebuah rumah di
tanah ayah-bundanya dengan didiami sendiri. Pada suatu malam beliau bermimpi
mendapat tamu seorang asing yang mengaku dirinya bernama Sayyid Magrabi
menyuruh kepada beliau supaya beliau memeluk Agama baharu yaitu Islam sedang
guru yang dapat memberi pelajaran itu agama ialah Sunan Kudus “
Raden
Zainal Fatah dalam bukunya sebagai berikut
:
“ Di
jaman Kudho Panule diceritakan bahwa di suatu daerah di dekat desa Sumursongo
(Parsanga) di Sumenep ada datang seorang penganjur agama Islam kepada rakyat di
Sumenep. Apabila seorang murid (santri) telah dapat dianggap melakukan rukun
Agama Islam, maka ia lalu diberi mandi air dengan dicampuri rupa-rupa bunga
yang harum baunya. Melakukan secara mandi demikian oleh orang Madura di
namai êdhudhus artinya diberi adus
artinya diberi mandi. Dari sebab itu maka itu tempat disebut orang Desa Padhusan.
yang sekarang menjadi nama kampung di desa Pamoloan, Kota Sumenep, Guru
yang memberi pelajaran agama itu lalu disebut juga Sunan Padhusan, ia asal
turunan Arab, akan tetapi telah memakai nama Jawa yaitu Raden Bandara
Diwiryopodho. Ia punya ayah bernama Usman Haji anak dari Raja Pandita alias
Sunan Lembayung Fadal yaitu anak dari Makdum Ibrahim Hasmoro yang disebut orang
Maulana Jamadul Akbar‘ Ini orang beristri seorang putri Cina yaitu saudara muda
puteri Cempa permisuri raja Majapahit yang penghabisan”.
Dalam
cerita tutur yang lain, Diwiryopodo, bernama Pangeran Katandur, ada juga yang menyebut Pangeran Satandur. Katandur sendiri bermakna ahli pertanian, memang kedatangan Pangeran Katandur
tersebut sebagai orang yang mengerti ilmu pertanian ingin membantu rakyat
Sumenep dalam bercocok tanam. Saat itu Sumenep mengalami kemarau panjang sawah
tidak menghasilkan padi, karena sawah tidak berair lagi. Namun Pangeran
Katandur mengajari para petani bertanam tanaman pangan dari jenis bukan padi
seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Selain itu Pangeran Katandur memikul
tugas dari kakeknya untuk menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat Sumenep.
Sebenarnyalah Pangeran Katandur itu cucu dari Sunan Kudus nama aslinya adalah Sayyid Ahmad Baidowi yang
meninggal di Sumenep yang di nisannya tertulis angka tahun Saka 1248 S atau
1412 M.
Di daerah kecamatan Proppo juga
ada legende yang hidup dalam masyarakat, yaitu legende Buju’ (Buyut) Kasambhi.
Buju’ Kasambhi ini nama aslinya adalah Kiai Abdulmanan beliau seorang mubaligh
Agama Islam yang datang dari Giri, Gresik ke Madura, masih satu
marga dengan Syeh Sayid Yusuf yang kuburannya dikeramatkan orang di
Pulau Puteran, yang letaknya berhadapan dengan Pelabuhan Kalianget di Kabupaten
Sumenep yaitu marga Al-Anggawi. Mula-mula beliau berdakwah di daerah Sampang di
(desa?) Salarom (daerah kecamatan Omben), kemudian pindah ke Bira di pesisir
utara Sampang (Ketapang) di situ Sang Mubaligh menikah dengan orang setempat dan
berputera seorang yang kemudian oleh masyarakat setempat putera tersebut dikenal sebagai Buju’
Birâ. Dari Bira Kiai
Abdulmanan pindah lagi ke Kampung Kobasan di desa Pangbhâtok kecamatan Proppo kabupaten
Pamekasan.
Bila kita teliti kisah atau
legende-legende tersebut di atas, sesungguhnya merupakan kisah masuknya serta
pengembangan Agama Islam di Madura. Sebenarnya sangat banyak tempat
pengembangan tersebut di seluruh Madura hal tersebut kini bisa terlihat
banyaknya pesantren di seluruh Madura yang penulis tidak menyebutkan di sini
nama-nama dan jumlah pesantren tersebut. Namun yang jelas menurut hasil penelitian
DR. H. Moh. Kosim, M.Ag dari STAIN Pamekasan di Pamekasan tahun 1515 sudah ada
pesantren yaitu Pesantren Sombher Anyar Tlanakan yang dipimpin oleh Kiai Syuber
dan beliau juga mengajar keluarga Kraton Pamelingan karena itu beliau disebut
Kèyaè Rato. Pesantren Somber Anyar hingga saat ini masih berjaya. Dengan
demikian diperkirakan pada perempat abad terakhir ke-16 Islam sudah tersebar di
Madura, hal ini untuk mendirikan sebuah pesantren di suatu tempat yang semula
masyarakatnya penganut Budha tentu memerlukan waktu yang cukup lama, lebih dari
itu dalam catatan Madura daerah Pamekasan penduduknya paling akhir memeluk Agama Islam dibandingkan dengan daerah lainnya
di Madura. Katakanlah berdasar dari berbagai kutipan tersebut di atas ditambah
dengan adanya legenda yang merakyat tentang
Kiai Abdulmanan dari Giri, maka kita bisa memahami bahwa Islam masuk
Madura pada jaman Sunan Kudus dan jaman Sunan Giri, sekaligus bisa kita
menganggap bahwa sejak jaman walisanga Islam sudah masuk ke Madura.
Pada tahun 1530 Panembahan
Banurogo wafat dan Raden Aryo Sena alias Pangeran Rangga menggantikannya.
Pelantikan Pangeran Ronggo dilaksananakan pada tanggal 12 Rabiul Awal 937 H
atau pada tanggal 3 Nopember 1530. Beliau dilantik oleh Ulama spiritual
kerajaan bernama Kiai Tasyrib. Setelah
pelantikan beliau bergelar Panembahan Ronggosukowati. Dengan demikian sebutan Rangga masih
beliau pakai lebih dari itu masyarakat di
Pamadekan masih menyebut beliau Pangeran Rangga.
Pada jaman Ronggosukowati pusat
kerajaan yaitu kraton dipindah ke bagian
barat kraton Pamelingan, beliau membuat kraton baru yang diberi nama
Kraton Mandhilaras, Mandhilaras bermakna kedamaian dan kemulyaan.
Sedangkan kerajaan Pamelingan dengan nama Pamekasan. Lokasi kraton Mandhilaras
saat ini ialah di lokasi Kantor Bakorwil Madura yang diapit oleh jalan Slamet
Riadi di selatan, jalan Agussalim di bagian Timur dan di utara jalan Pongkoran.
Sedangkan di sisi barat adalah perkampungan, yaitu Kampung Pongkoran dan
Kampung Gheddhungan. Sedangkan Jalan Mandhilaras sendiri sebenarnya
hanya merupakan cabang dari Jalan
Pongkoran Pada saat pemerintahan Ronggosukowati, pemerintahannya dinilai sudah
memenuhi syarat sebagai sebuah pemerintahan dari sebuah Negara. Kerajaan
Pamekasan telah tersusun dari berbagai kebutuhan bagi kepentingan sebuah
pemerintahan seperti adanya asrama tentara / prajurit yang masa sebelumnya
prajurit dikumpulkan hanya bilamana ada perang. Pasar juga di adakan untuk
mendukung perekonomian rakyatnya walaupun saat itu masih lebih banyak dilakukan
system barter. Selain pasar, penjara yang lebih manusiawi (dibangun di atas
permukaan tanah yang sebelumnya di bawah tanah) dibangun, saat ini lokasinya di
komplek Perpustakaan Umum Kota Pamekasan. Tempat beribadah juga dibangun sesuai
dengan Agama yang dianut Raja Ronggosukowati yaitu Islam, maka beliau membangun
sebuah mesjid yang dinamakan Masèghit
Rato, yang terletak di tepi sungai tidak jauh dari kraton Mandilaras. Tempat
dekat sungai sangat tepat karena masjid harus
dibangun dekat air yang kepentingannya diperlukan terus-menerus karena sebelum
sholat diharuskahn berwudlu / bersuci. Masèghit Rato (Masjid Raja) diperkirakan
sama bahan pembuatannya dengan masjid Sunan Giri yang mula-mula yaitu
terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Masjid-masjid seperti itu
terus di bangun di daerah kekuasaannya yang saat ini Masèghit Rato telah menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’ setelah pembangunan masjid dilakukan dengan
tipe bangunan besar, masjid dari kayu beratap rumbia tersebut lalu disebutnya
langgar / langghâr hingga saat ini sangat banyak di Madura di
tempat yang berbeda di Madura sering disebut kobhung.
MASJID
AGUNG ASY-SYUHADA’,
SEJARAH PEMBANGUNANNYA :
Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan bermula dibangun di tempat yang sama yaitu tempat Masêghit Rato atau masjid
raja karena yang mendirikan masjid yang mula-mula tersebut adalah
Raja Ronggosukowati. Raja Ronggosukowati memang merupakan raja Pamekasan yang
pertama beragama Islam. Dengan demikian masjid yang ada saat ini merupakan
pengembangan dari Masêghit Rato tersebut. (Nama masèghit Rato sebenarnya
diberikan kepada masjid yang dibangun oleh raja). Hal tersebut karena raja
membuat tempat syujud atau masjide, pemberi nama ini datang dari kelompok
keturunan langsung Ronggosukowati antara lain marga Adikara. Namun setelah Madura dikuasai Mataram yang kemudian
oleh Mataram diterimakan kepada Belanda, semua yang berbau Madura dikecilkan
dan pada hakikatnya Stigma bagi Madura mulai terasa. Sebutan langgar adalah
pantas bagi Madura menurut mereka bahkan Raden Pratanupun disebutnya sebagai
Pangeran Langgar, karena itu sejarawan di Jawa hanya mengenal seorang pangeran di Madura yaitu Pangeran Langgar yang tertulis di makam Sunan Kalinyamat di Jawa
Tengah. Karena itu pula setelah jaman berikutnya terutama setelah Bupati Hindia
Belanda yang Pertama di Pamekasan (1804) Masèghit
Rato disebut juga dengan sebutan Langghâr
Rato. Masjid Raja tentunya sama dengan masjid-masjid pemula di Jawa
termasuk Masjid Giri ataupun Ampel, semuanya masih berwujud surau
atau langgar apabila dibandingkan dengan saat ini Seperti Masjid
Giri yang berbentuk langgar beratapkan jerami, baru kemudian setelah Sunan Giri
diangkat sebagai penasehat Raden Fatah dan sekaligus sebagai ketua para sunan
di tahun 1407 Masjid Giri dinamakan masjid Jamik. (Zain, 1987).
Bangunan masjid pada hakikatnya dibangun sebagai tempat sujud kepada Al Khaliq, Sujud yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan berbagai keterangan dalam Al-Hadist. Hal tersebut karena pengertian sujud dalam Islam adalah kepatuhan ketundukan yang dilakukan dengan penuh kehikmatan sebagai pengakuan muslim sebagai insan hamba Allah kepada Sang Pencipta, Allah Rabbul Alamin, tidak kepada yang lain di alam semesta ini. Hal ini sesungguhnya di mana pun di bumi ini merupakan tempat sujud yang dalam bahasa kita di sebut masjid. Namun demikian Al-Qur’an dan Al-Hadist, tidak memuat aturan-aturan bagaimana masjid atau tempat sujud tersebut harus dibuat dalam makna sebagai pengungkapan fisik dari bangunan masjid. Sebaliknya dalam keduanya termuat banyak kaidah-kaidah bagaimana beribadah dalam masjid dan kegiatan apa saja yang boleh atau yang tidak boleh dikerjakan di dalam masjid. Karena itu kemudian dalam hal bentuk masjid ini mengundang kreativitas bagi umat Islam untuk mengungkapkannya senafas dengan ajaran agama yaitu Islam. Masjid raja sendiri dibangun dalam pengertian seperti itu pula, tentu saja sesuai dengan tingkat kemajuan teknologi dan tingkat kemampuan dan kondisi masyarakat Pamekasan saat itu. Namun yang jelas pada umumnya di negeri kita bentuk masjid memiliki langgar sendiri , langgar yang dipengaruhi oleh alam lingkungan tempat masjid itu berada, demikian pula selalu dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat pendukungnya atau bisa terjadi akulturasi dengan budaya daerah lain yang dianggapnya memperkaya kebudayaannya.
Masjid Raja tidak seperti kebanyakan masjid lainnya di
Jawa atau di Madura setelah jaman perkembangan masjid. Masjid Giri sendiri misalnya, semula tidak berada di komplek pemakaman,
tetapi berada terpisah dengan makam Sunan Giri. Masjid Giri semula berada di
Giri Kedaton; namun karena banyaknya pezirah ke makam Sunan Giri di Bukit Giri,
diambil kebijakan pada tahun 1544 M masjid Giri dipindah dari Giri Kedaton ke
Bukit Giri seperti adanya sekarang. Namun tidak demikian dengan masjid
Raja yang dibangun oleh Raja Ronggosukowati di sekitarnya tidak ada pemakaman.
Karena itu Makam Ronggosukowati tidak berada di komplek masjid yang
dibangunnya.
PERLETAKAN MASJID
Hampir
seluruhnya langgar yang dibangun masyarakat Islam saat itu di Madura dibuat
dengan styel masjid Sunan Giri tersebut
yaitu dari kayu dan beratapkan rumbia. Sebagai contoh Langghâr Ghâjâm / Langgar Gayam yang saat ini masih utuh yang
terletak di Kampung Ghâjâm desa Proppo,
Pamekasan yang diperkirakan dibangun abad ke18 terbuat dari kayu dan beratapkan jerami Bangunan
Masjid Rato berdiri di atas tanah (yang tentunya milik raja) tepat berada di
tepi sungai. Penempatan di tepi sungai Kampung
Masèghit yang lokasinya di sisi barat sungai dekat masjid raja hingga
kiri-kanan masjid merupakan tempat orang-orang yang bekerja / pekerja,
pemelihara masjid. Namun setelah di dekat masjid di bagian sisi utara dibuat
taman, maka kampong masèghit menjadi
ciut dan yang tersisa di bagian sisi barat sungai, sampai saat ini masih
bernama Kampung Masèghit. Sedangkan
bagian kampong Masèghit dibagian sisi
utara masjid lalu menjadi Kampung Taman
dan di kanan mesjid berubah pula namanya dari kampong Masèghit menjadi Kampung
Barat Pos setelah Pemerintah Jajahan mendirikan kantor yang berfungsi Jasa
Pos, di ujung Jalan Masigit yang sekarang. Namun perubahan pemelihara / pekerja masjid terus berlangsung. Setelah dynasti Ronggosukowati yaitu pewaris sebagai pemilik lokasi mesjid
/ sebagai pewaris dari raja yang memndirikan masjid rato satu demi satu
tidak lagi berkuasa di Pamekasan, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1804
mengangkat saudara Sultan Bangkalan menjadi Bupati Pamekasan, dan pengurusan
masjid diangkat pegawai dari kerabat kaum bangsawan dengan pangkat panggilan Tumenggung, yang ditempatkan di
perkampungan yang namanya Kampung Tumenggungan yang hingga saat ini diteruskan
oleh pelanjut keturunannya.
Langgar Gayam di Desa Proppo
PEMUGARAN DAN PERLUASAN MASJID
Perkembangan Masjid Raja kemudian
selalu mengikuti jaman para penguasa di Pamekasan yang terus berlangsung dari
masa ke masa yang tidak terlepas dari perkembangan arsitektur masjid yang ada
di Jawa Timur, sebagaimana yang terlihat kemudian sampai saat ini seperti. Langgar
masjid zaman wali, langgar masjid zaman penjajahan dan langgar masjid zaman
kemerdekaan. Bagi Pamekasan Insya Allah pada masa awalnya masjid Raja mengambil
langgar Masjid Sunan Giri sebagaimana disebutkan di atas tentang masjid Sunan
Giri. Kemudian dalam langgam penjajahan kita kenali masjid kita di Pamekasan
ini sebagai Masjid Jami’ yang selanjutnya kita masuki langgar masjid langgar
jaman kemerdekaan dalam makna bentuk
masjid mana suka bagi yang mau membangunnya dan biasanya merupakan langgam
campuran masjid modern seperti Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan yang kita miliki saat
ini.
Masjid
Raja ini kemudian direnovasi oleh para Bupati / penguasa setelah masa-masa
berikutnya. Setelah Madura ditaklukkan Mataram, Sultan Agung memerintahkan
penggusuran Masjid Raja dan di atas
lokasinya tersebut dibangun kembali bentuk mesjid yang umum di Pulau Jawa saat
itu yaitu Mesjid Langgar Mataram dan
telah disetujui Sultan Agung yaitu bangunan tajung
tumpang tiga bagaikan bangunan meru tempat peribadatan masyarakat
agama Budha. Perubahan ini dilaksanakan ketika pemerintahan Adipati yang bernama Raden Gunungsari bergelar Adikoro I
yang memerintah setelah ayahnya (Pangeran Celleng atau Megat Sekar yang memerintah
Pamekasan setelah perang puputan / penyerangan Mataram pada tahun 1624.)
dipindah oleh Mataram untuk mewakili Mataram memerintah Sumenep (Adikoro I ini adalah putera dari Pangeran
Celleng, atau Megat Sekar, putera dari Pangeran Purboyo, putera dari Ronggosukowati.)
tepatnya pada tahun 1672. Kemudian Mataram menyerahkan Madura Timur (Pamekasan
dan Sumenep) kepada VOC.
Pada
saat VOC jatuh pada Tahun 1799, semua daerah koloninya diserahkan kepada
Pemerintah Belanda di Negeri Belanda
termasuk daerah Madura. Kemudian
jajahan VOC tersebut oleh Belanda dinamakan Hindia Belanda dan Madura termasuk
di dalamnya. Selama itu hingga tahun jatuhnya VOC Masjid Pamekasan belum direnovasi
baik fisik dan tatanan pemeliharaannya atau ketip-ketipnya. Namun semula Masjid
Raja (1530) atau masjid renovasi tahun 1672 dilakukan cuma sekedar untuk
syahnya shalat Jum’at untuk menampung jamaah sebanyak 40 orang menurut mazhab As-Syafii. Pada pemerintahan Bupati R. Abd Jabbar gelar R. Adipati
Ario Kertoamiprojo, yang memerintah dari tahun 1922 s/d 1934’ Masjid rehap
tahun 1672 tersebut diperluas ke samping dan ke depan yang demikian karena
makin banyaknya jamaah khususnya saat mendirikan shalat Jum’at dan pada
hakikatnya masjid sedang diarahkan untuk menjadi masjid jamik Kota Pamekasan.
Pada tahun
1804 Pemerintah Penjajahan Hindia Belanda mengangkat saudara dari Sultan
Bangkalan yang bernama Abdul Latif Palgunadi sebagai Bupati Pertama Hindia Belanda di Pamekasan.
Tepatnya
pada tanggal 10 Nopember 1804 yang kemudian dikukuhkan dengan SK Tanggal, 27
Juli 1819 sebagai Panembahan Pamekasan dengan gelar Panembahan
Mangkuadiningrat. Sejalan dengan pengukuhan tersebut Pemelihara masjid atau ketip masjid dipercayakan kepada Pejabat yang diangkat
oleh Pemerintah Panembahan Pamekasan dengan pangkat Tumenggung yang ditempatkan
di tanah milik Pemerintah Panembahan Pamekasan di sekitar masjid sebagai perluasan
dari Kampung Masèghit (kampung Masjid) yang sudah ada yang saat ini masih berbekas di
Kampung Tumenggungan.
Namun
kemudian pada tahun 1939, saat Pamekasan diperintah oleh Bupati R. A. Asiz (R.
Abd Azis (SIS) berkuasa dari tahun 1939-1942)
atas anjuran Gubernur Jawa Timur saat itu yaitu van der Plaas, masjid rato yang telah
beberapa kali mengalami renovasi tersebut dirombak total dan di atasnya di
bangun mesjid styel Walisongo yaitu segi empat beratap tajung tumpang tiga.
Tetapi masjid yang dibangun masa
pemerintahan Bupati R. A. Abdul Azis ini tidak sepenuhnya menurut styel
walisongo, sebab tidak memiliki serambi. Bahkan Tiang agungnya terdiri dari 16
batang tiang bukan empat. Tiang sebanyak itu untuk menunjukkan bahwa masjid ini
dibangun di atas tanah masjid yang mula-mula yaitu Masêghit Rato yang dibangun
pada abad Ke-16. Setelah renovasi pada tahun 1939 yang diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1940 masjid
ini lalu dinamakan Masjid Jamik Kota Pamekasan dengan dua buah menara kembar di
kanan-kiri masjid, menara setinggi 20 meter. Nama masjid jamik ini bertahan hingga tahun 1980, bahkan tidak
sedikit penduduk Pamekasan yang menyebutkan demikian hingga saat ini.
Masjid jami’ Pamekasan
Diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1940
Pada tahun 1980 masjid ini diperluas
ke depan sejauh lima
meter. Tambahan ini merupakan serambi dan bentuk depan masjid kemudian
seperti masjid Belimbing di Kota Malang.
Penambahan ini dilakukan atas perintah Bupati Pamekasan, Mohammad Toha yang
memerintah pada tahun 1976 sampai dengan tahun 1982. Dengan demikian hasil Renovasi
ini membuahkan masjid ini memiliki serambi yang tertutup dan perubahan ini bisa
diterima karena masjid-masjid di jaman walisongo semuanya memiliki serambi.
Bangunan
kantor Takmir Masjid Agung Asy-Syuhda’ Kabupaten
Pamekasan tahun 1939 bertahan hingga renovasi tahun 1995. Namun kolam bundar untuk
mengambil air wudhu sudah tergusur dan pengambilan air wudhu ditempatkan di
bagian utara depan menara. Sebagaimana tampak pada gambar, serambi Masjid Jamik
Kabupaten
Pamekasan hasil renovasi tahun 1980 terkesan menyerupai bagian
depan Masjid Blimbing Kota Malang. (foto tahun 1983)
Selain
dari itu untuk mengenang para Syuhada’ yang syahid pada waktu Serangan Umum
pada tanggal 16 Agustus 1947 yang dilakukan oleh para pejuang Republik
Indonesia di Madura terhadap pendudukan serdadu Belanda di kota Pamekasan.
Mereka menduduki kota sejak tanggal 5 Agustus 1947 dan serangan tersebut
sekaligus sebagai pernyataan kepada Bangsa Indonesia bahwa Madura belum ditaklukkan
sepenuhnya oleh Belanda yang sebelum menyerang Madura pada tanggal 4 Agustus
1947 Belanda telah sesumbar akan menaklukkan Madura dalam satu hari saja. Pada
serangan umum tersebut tidak sedikit dari serdadu Belanda tewas dan sempat
pertahanan serdadu Belanda dilumpuhkan
dan mereka mundur keluar kota ke arah selatan
tidak kurang selama 5 jam mereka berada di luar kota sambil menunggu bantuan dari Surabaya. Setelah bantuan
datang baru serdadu Belanda tersebut
kembali memasuki kota
yang telah dikosongkan oleh para
pejuang. Para syahid dari pasukan TNI dan Kelaskaran seperti Sabilillah,
Hisbullah dan Pesindo banyak yang gugur tidak kurang dari seribu lima ratus orang dari mereka yang datang menyerang sekitar lima puluh
ribu prajurit
yang terdiri dari TKR, dan lascar Sabilillah, Barisan pemberontak, Hisbullah
dan Pesindo yang datang dari seluruh Madura. (keterangan salah seorang imam
masjid yang menyebut sebagai saksi mata) Namun dalam catatan yang lebih akurat
berdasarkan penelitian para pelaku serangan umum tersebut terdiri dari dua
kompi Tentara, satu kompi Brimob dan 1000 orang dari badan-badan perjuangan
sebagaimana disebutkan di atas. Dari sekian penyerang ada pilihan yang gugur
sebagai pahlawan. Mereka yang gugur, semuanya dikubur di depan Masjid Jamik
sebelah sisi utara dan kemudian di situ didirikan monumen Taman Makam Pahlawan (TMP). Namun kemudian di tahun 1974 para
Syuhada yang terkubur di Taman Makam Pahlawan tersebut seluruhnya dipindah ke
Taman Makam Pahlawan di Jalan Panglegur seperti adanya saat ini. Sebagian bekas
taman makam pahlawan di depan masjid tersebut bagian tepi barat sudah menjadi
Jalan Masigit setelah ada pelebaran
jalan depan masjid pada tahun 2004. Serangan Umum tanggal 16 Agustus 1947
tersebut oleh seorang wartawan perang Belanda, Wim Horman, menyebutkan dalam ungkapannya :
Seniman
menggambarkan peristiwa tersebut dalam
sebuah lukisan sebagaimana terdapat dalam buku Tim Penyusun Sejarah , 1991
suasana pagi hari di depan masjid pada
tanggal 16 Agustus 1947 beberapa saat setelah selesainya serangan umum
lukisan
(bukan gambar asli) di atas dikutip dari buku “ Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura “ oleh :
Tim penyusun sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di Madura tahun
1991. Lukisan tersebut sebagai ungkapan kenangan, tentu saja berdasarkan
imajinasi spekulatif yang dalam Penulisan sejarah memang dibenarkan apabila penulis sejarah / sejarawan tidak memiliki
data / fakta asli, namun walaupun demikian penulis sejarah / sejararawan harus
mendekati permasalahan yang sedang di
bahas, ( Kasdi, 2003) it was echt een zware nacht merrie /
benar-benar sebuah mimpi buruk yang dahsyat.
Taman Makam Pahlawan (foto Mus) TMP digusur
tahun 1974 di pindah keTMP Panglegur.
Renovasi
tahun 1980-1985
Pada
tahun 1985 oleh Yayasan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan, Masjid kembali mendapat renovasi berupa pelebaran ke
samping kanan dan kiri sejauh lima meter dengan jalan menggusur tempat untuk
berwudhu’ yang kemudian tempat air wudhu’ tersebut dipindah ke bagian depan
sebelah utara. Nama masjid kemudian ditambah dari Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan.
Pada
September tahun 1995 di jaman pemerintahan Bupati Drs. H. Subagio, M.Si Masjid
Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan direnovasi total kembali. Secara total Masjid
dibangun dengan seluruhnya cor beton . Karena berada di tepi sungai
yang rawan longsor maka digunakan pasak bumi yaitu paku beton sepanjang 22
meter tertancap di bumi dasar mesjid sebanyak 360 batang dan setiap pasak
dihubungkan dengan cor beton pula sehingga Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan renovasi 1995 ini
terkesan bagaikan sangkar beton yang
tertancap di bumi sebagai fondasinya. Masjid ini memiliki 3 lantai. Lantai
pertama sebagian digunakan sebagai Gudang, Kantor Takmir, Ruang Pertemuan, Perpustakaan,
Balai Pengobatan, sanitasi dan tempat ambil air wudhu’. Sebagian lagi tepatnya
di bagian ke arah barat tertutup ditimbuni tanah. Lantai 2 sebagai ruang inti /
haram dengan ukuran 50X50 meter dan
samping kanan-kiri. Bagian depan dibatasi
dinding sebagai serambi masjid. Tiang utama 4 (empat) buah dengan demikian
kembali ke styl masjid Mataram yang
memiliki empat pilar tiang agung yang tertancap di dasar bangunan tembus ke
lantai tiga. Lantai tiga juga dipersiapkan sebagai tempat sholat, dari lantai
tiga ini para jamaah dapat melihat imam
shalat di lantai dua. Materi bangunan masjid banyak didatangkan dari luar
Madura seperti marmar untuk lantai dari Tulungagung dan Lampung. Tembok dinding
dilapisi dengan ukiran, juga pintu dari kayu berukir dan ukiran ini didatangkan
dari Jepara di Jawa Tengah dan Karduluk di Sumenep. Secara keseluruhan masjid
renovasi 1995 masih dalam bentuk masjid tradisional, berserambi, bertiang utama
(tiang agung) empat buah, tetapi atapnya tidak lagi atap tajung tumpang tiga melainkan bergaya Timur Tengah, bentuk segi
empat dan berkubah cor pasir dan
semen. Nama masjid tetap Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan dengan daya muat sebanyak 4000 jamaah.
Renovasi
total Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan berlanjut hingga pemerintahan Bupati Drs. H.
Dwiatmo Hadiyanto, M.Si. Rehap dalam tahap akhir pemberian pagar dan gerbang
masjid serta pelebaran Jalan Masigit khususnya di depan Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan dilaksanakan
dalam pemerintahan bersama Bupati Drs. H. Ahmad Syafi’i, M.Si dan Wakilnya Drs.
H. Kadarisman Sastrodiwirjo, M.Si yang memerintah dari tahun 2003 s/d 2008 sekaligus merestui Takmir Masjid
Agung Asy-Syahada’ Kabupaten Pamekasan yang baru yaitu Drs. H.R. Abd. Mukti, M.Si sebagai Ketua Umum Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan dan Drs. KH.M. Baidowi Ghazali, MM sebagai Ketua Yayasan Masjid Agung
Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan. Pada saat tulisan ini disusun renovasi Masjid
Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan memang sudah selesai sesuai dengan
konsep semula. Namun Wajah Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan
terus-menerus dipercantik sebatas yang
diperbolehkan agama, dan ragam rias ini selalu dalam pengamatan dan bimbingan
langsung dari Bupati Kabupaten Pamekasan
Drs. KH. Kholilurrahman, SH.,M.Si dan Wakilnya Drs. H. Kadarisman
Sastrodiwirjo, M.Si yang keduanya mulai menjabat dari tahun 2008 s/d 2013. Pada
tahun 2011 tepatnya pada tanggal, 24 Mei 2011 Yayasan Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten dan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan di lebur
menjadi satu dengan nama Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan yang di ketuai oleh Drs. H. RP. Abd. Mukti, M.Si.
KIBLAT
Dalam
masalah kiblat ini Pamekasan yang termasuk daerah khatulistiwa, sebagaimana
umumnya negeri kita, Indonesia.
Apa yang mereka kerjakan.” ( Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah Ayat : 144 ).
Untuk
daerah kita, telah diperhitungkan menurut azimuth yang sudah digunakan bagi seluruh
tempat di tanah air dan bagi Pamekasan yaitu arah barat-barat daya atau kearah barat
dan serong ke arah utara sebesar 23º, sehingga mengarah ke Masjidil Haram di
Makkah. Dengan demikian Jhâlân
Sè Jhimat yang mengarah dari simpang monumen
Lancor di renovasi untuk disesuaikan sebab jalan tersebut dahulu dibuat dengan
tujuan mengarah ke mihrab
mesjid Rato dengan
maksud si pejalan kaki merupakan sosok yang berjalan di jalan Allah menuju tempat untuk sujud kepada Allah. Namun saat ini jalan
Sè Jhimat tersebut sudah menjadi tempat parkir. Wa Allâhu a’lam bi al sawhâb.
Namun menurut berita pers (Jawa Pos, Rabu 17 Maret
2010) Kementerian Agama Republik
Indonesia, berencana mengukur ulang arah kiblat masjid di seluruh Indonesia
yang jumlahnya ribuan, sekitar 700.000 masjid dan mosholla. Rencana tersebut
akan dilakukan karena untuk menghindari ketidakakuratan arah ke Kakbah seperti
diduga sering terjadi selama ini.
Pengukuran tersebut bukan sepenuhnya kesalahan tetapi lebih banyak karena
faktor teknologi dan keterbatasan peralatan. Ditegaskan bahwa Kementerian Agama
akan melakukan pengukuran apabila ada permintaan dari pengurus masjid di
seluruh wilayah Indonesia.
Pernyataan ini dinyatakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 15
Maret 2010 saat membuka Sosialisasi Arah Kiblat Tingkat Nasional di Jakarta.
Tentu saja bagi masjid atau mosholla yang belum diferifikasi arah kiblatnya
jamaah harus melakukan sholat seperti biasa, sebab penetapan kiblat saat itu
sudah sesuai dengan kondisi ilmu falaq
dan peralatan yang ada saat itu. Namun saat ini dengan teknologi
komputer dan satelit, dapat diketahui
posisi kiblat dengan melihat posisi matahari saat tepat berada di atas Kakbah. Dengan
demikian bayang-bayang benda di permukaan bumi pada jam tersebut mengarah ke Kakbah. Jika arah tersebut telah
kita temukan, berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi hasil tersebut sudah
merupakan ijtihad yang tentunya wajib dipergunakan. Karena itu dianjurkan agar
masyarakat / pengurus Takmir masjid mau berkonsultasi dengan pihak Kementerian
Agama setempat untuk mendapatkan arah
kiblat yang sesuai.
RUANG DAN INTERIOR SERTA SARANA LAINNYA
DI
MASJID AGUNG ASY-SYUHADA
Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupten Pamekasan yang berlantai tiga ini mempunyai banyak ruang
dengan fungsi yang berbeda seperti :
1.
Ruang liwan, ruang inti tempat jamaah masjid melakukan sholat
berjamaah,terdapat di lantai dua, juga terdapat di lantai tiga 30X1,20 M
Ruang Haram /
Liwan di lantai 2
Ruang Haram / Liwan di lantai 3
2.
Serambi, serambi depan 9X55 M dan serambi samping kiri-kanan
dengan ukuran masing-masing 4,5X20,7 M
di lantai dua.
Serambi
samping kanan / utara , lantai 2
Serambi depan di
lantai 2
Serambi samping kiri / ruang liwan wanita di lantai 2
3.
Ruang istirahat
Imam sejajar dengan ruang-ruang mihrab
dan mimbar dan ruang muadzin sekaligus sebagai ruang alat-alat elektronik.
Masing-masing berukuran 5X3 M di lantai dua
Mihrab dan mimbar
4.
Kantor Takmir, terletak di lantai satu berukuran 4X20 M.
5.
Ruang Pertemuan, terletak di lantai satu dengan ukuran 8X21 M
Di samping ruang-ruang ini masih tersedia ruang-ruang lain
seperti gudang tempat penyimpanan alat kelengkapan masjid seperti terpal,
permadani dan lain-lain. Juga di sekitar atau bagian sisi utara dan barat
masjid dibangun beberapa bangunan untuk tempat pendidikan dan kesenian.
Walaupun tempat seperti terpisah tapi masih merupakan satu komplek dalam makna
masih mencerminkan adanya hubungan orientasi antara komplek dan bangunan induk
masjid.
6.
Ruang Unit Radio “ Swara Gerbangsalam
88,6 FM “ hasil kerja sama Majelis Ulama’
Indonesia Kab. Pamekasan, Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam Kab.
Pamekasan, FOKUS Kab. Pamekasan dan Yayasan Takmir Masjid Asy-Syuhada’ Kab. Pamekasan dengan ukuran 3X3 M dan juga ada ruang tempat penyelenggaraan
rekaman, relay / TV. Dan sekarang dikelola oleh Badan Pengelola Radiop
Gerbang Salam 88,6 FM.
Radio Swara Gerbangsalam 88,6 FM sedang mengudara
7.
Ruang Wanita, ditempatkan terpisah dari jamaah pria yaitu di serambi
bagian kiri (selatan ) Pemisahan tempat ini untuk menjaga agar tidak
tergaggunya kekhusyukan, dari dua jamaah yang berbeda jenis kelamin,
wanita-pria. Untuk hari-hari biasa, pada hari Jum’at tidak disediakan tempat Jamaah
wanita hal ini karena bagi wanita shalat Jum’at merupakan sunat (boleh melaksanakan boleh tidak) tetapi
untuk hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha disediakan di lantai
tiga. Walaupun terjadi pemisahan seperti tersebut di atas, para jamaah wanita
masih dengan sempurna hubungan pandangan secara langsung ke ruangan pria yang demikian
dimaksudkan agar herak-gerik imam atau khatib
dapat diikuti secara langsung dari ruang wanita.
Ruang wanita serambi kiri di lantai 2
8.
Tempat ruang sesuci / Wudhu’
dan Sanitasi, terdapat di
lantai satu di kiri (Selatan )- kanan (Utara). Untuk wanita di
bagian kiri, terdapat 6 (enam) sanitasi dan 27 kran untuk mengambil air wudhu.
Sedangkan di bagian kanan untuk pria, terdapat 10 tempat
sanitasi, 4 tempat kencing dan kran untuk mengambil air wudhu’ sebanyak 26
buah. Pemisahan kedua ruang sesuci antara pria dan wanita ini sudah sesuai
dengan tuntunan ajaran Agama Islam bahwa manakala sesudah bersuci untuk sholat
apabila terjadi persinggungan kulit antara dua jenis kelamin dan bukan termasuk
muhrim maka ia menjadi batal, karena ia diharuskan mengambil wudhu’ kembali.
Air yang digunakan untuk air wudhu di
Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan adalah air dari mata air yang ada
di Pamekasan melalui jasa PDAM
Pamekasan. Pengambilan air wudhu’ disediakan kran sebagaimana tersebut di atas,
hal ini untuk menjaga agar air wudhu’
tetap hygienis. Demikian pula kamar
mandi dan WC yang ruangnya tertutup dan sopan sehingga menjamin tingkat privacy
jamaah yang menggunakan.
“
KEBERSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN “
“ BERSIH
ITI INDAH “
BERSIH ITU
SEHAT “
“ BERSIH
ITU ISLAMI “
9.
Jam gantung 3 buah, papan publikasi 3 buah,
mimbar 1 buah dan beduk 1 buah dan penitipan sandal
Jam Gantung
10. Ruang alat elektro dan pengeras suara
13. Menara , Masjid berujung berbentuk peluru (sesuai dengan penjelasan dari Arsitek Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan yang penulis ikuti saat beliau memberi penjelasan kepada beberapa orang jamaah di tahun 1996 ).
11.
Pertamanan terdapat di halaman masjid bagian tepi kiri-kanan
Halaman bagian utara
Halaman bagian selatan
12.
Ragam Rias Masjid
Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan juga dihias dengan kaligrafi, dan beberapa
gambar motif bangunan masjid dan
geometris. 13. Menara , Masjid berujung berbentuk peluru (sesuai dengan penjelasan dari Arsitek Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan yang penulis ikuti saat beliau memberi penjelasan kepada beberapa orang jamaah di tahun 1996 ).
Tinggi 37 M
MENARA
KEMBAR
Sekedar
untuk pengetahuan bahwa menara berasal
dari kata manara, yaitu bangunan tinggi kaum Majusi (kaum penyembah
api) yang di puncaknya dinyalakan api yang terus-menerus. Kemudian oleh Islam menara
difungsikan lain yaitu dijadikan tempat muadzin mengumandangkan adzan agar
adzan lebih jauh lagi didengar orang karena adzan merupakan panggilan atau ajakan untuk
melakukan sholat. Saat ini muadzin tidak perlu naik-turun menara yang tinggi
dan melelahkan itu. Hal ini karena Islam juga telah menggunakan teknologi yang
ada. Muadzin tidak perlu naik-turun menara. tetapi cukup menempatkan pengeras suara di puncak menara dan muadzin
cukup mengumandangkan panggilan shalat tersebut di ruang muadzin sebab dari tempat tersebut dihubungkan ke pengeras
suara di puncak menara menggnakan alat
elektro.
Menara
Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan tetap dua
buah dan merupakan menara kembar sebagaimana menara masjid Jamik Pamekasan
buatan tahun 1939 yang telah dibongkar, tetapi menara yang sekarang ujung
atasnya berbentuk peluru, bentuk ini sebagai ungkapan bahwa Masjid Agung Asy-Syuhada’
kabupaten Pamekasan pernah
menyaksikan serangan umum yang disebutkan di atas pada tanggal 16 Agustus 1947,
saat itu Masjid Jamik Pamekasan dipenuhi lubang bekas peluru yang ditembakkan
oleh tentara pendudukan Belanda ke arah masjid sebab di masjid banyak pejuang
berlindung.
Sentral Saluran Air masa lalu untuk Kabupaten Pamekasan
dilihat dari puncak
Menara Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten
Pamekasan dibangun pada Tahun 1927.
Pusat Kota Pamekasan dilihat dari puncak menara
Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan
Menara
kini telah menjadi bagian dari budaya Islam. Kebudayaan Islam sumbernya adalah
ajaran agama. Dengan demikian tidak ada batas-batas kebangsaan dan dogma-dogma
lain selain peraturan dan kaidah yang terkandung di dalam ajaran agama yang
pada hakikatnya sudah bersifat universal. Dengan demikian kubah masjid atau menara dalam bentuknya menurut styl
apapun bisa muncul dimanapun walau kita tahu kubah dan menara tersebut adalah budaya Islam di timur tengah. Kita boleh berijtihat
untuk berkreasi tentang arsitektur masjid untuk menyesuaikan dengan kemajuan
jaman sejauh tidak meninggalkan kaidah tata nilai dan tata laku yang telah digariskan
oleh ajaran Islam. Namun yang perlu kita ketahui juga bahwa ajaran Islam itu
bisa selalu upto date sekaligus menunjukkan dan membuktikan keluhurannya
sebagai agama samawi.
1.
Tempat penitipan
kendaraan jamaah di pusatkan di jalan Sè Jhimat yang sudah ditutup, di area Monumen Lancor.
FUNGSI MASJID
Banyak pendapat tentang
fungsi masjid, Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan 1974
menguraikan isi kebudayaan secara universal, bahwa kebudayaan itu dapat diuraikan meliputi tujuh
unsur yaitu :
1)
Sistem religi dan upacara keagamaan,
2)
Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
3)
Sistem pengetahuan,
4)
Bahasa,
5)
Kesenian,
6)
Sistem mata pencaharian hidup,
7)
Sistem teknologi dan peralatan.
Dipihak lain Sidi
Gazalba, seorang budayawan Islam, dalam bukunya yang berjudul Masjid pusat ibadat dan kebudayaan
Islam (1975, dalam Zain, 1986) menyatakan bahwa kebudayaan meliputi
enam unsur yaitu :
- Sosial,
- Ekonomi,
- Politik,
- Ilmu pengetahuan dan teknik,
- Kesenian dan,
- Filsafat.
Dengan demikian
Sidi Gazalba tidak memasukkan unsur religi tetapi memasukkan filsafat karena ia
berpendapat kebudayaan dan agama berbeda sumbernya. Kebudayaan merupakan produk
manusia dan Agama datang dari Yang Maha Esa.
Menurut konsep
Islam agama dan kebudayaan berbeda tapi berhubungan karena agama merupakan
produk Tuhan, Allah Azza wa jalla, sedangkan kebudayaan merupakan produk
manusia. Kebudayaan mempunyai beberapa unsur, segi sosial, segi ekonomi, ilmu
pengetahuan, teknologi, bahasa, kesenian dan juga filsafat. Dalam kebudayaan
masyarakat menuntut adanya pembagian tugas-tugas tertentu pada warganya.
Dalam berbagai
catatan tarikh pada masa Nabi SAW hingga jaman Khalafaur Rasyidin semua unsur kebudayaan
itu terpancar dari dalam masjid. Demikianlah berbagai pernyataan para ahli yang sampai kepada kita,
yang demikian, sangat mempengaruhi pikiran para pengelola masjid dalam
menetapkan fungsi masjid yang dikelolanya.
Kegiatan dalam Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten
Pamekasan sudah terlihat demikian kompleks. Bahkan dapat dikatakan makmur,
sebab kegiatan di sini melibatkan segala umur dan segala jenis kelamin. Bidang
yang dicakup juga cukup banyak yakni peribadatan, pendidikan keagamaan, sosial keagamaan dan
sebagainya. Justru dengan semakin makmurnya
kegiatan ini maka pihak pembina masjid yaitu Yayasan
Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan dirangsang untuk semakin dapatnya menyediakan sarana dan
prasarana yang layak. Ketua Umum Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan selain mengawasi perkembangan fisik
masjid juga membawahi unit-unit usaha, pendidikan, (Taman Pendidikan Al-Qur’an /
TPA), badan dakwah, remaja masjid, keamanan, pemeliharaan fisik kompleks masjid,
Unit Radio Swara Gerbangsalam sedangkan sekretaris membawahi pembukuan, keuangan dan urusan material.
Sedangkan pemeliharaan gedung ditangani oleh seksi tehnik dan karyawan masjid.
Taman Pendidikan Al-Qur’an Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten
Pamekasan.
Selain dari yang
telah melembaga seperti yang disebutkan di atas masih terdapat kepanitiaan yang
bersifat temporer seperti Panitia Amaliyah Zakat Fitrah dan Mall, Panitia
Amaliyah Idul Qurban, Panitia Santunan Anak Yatim, Panitia Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad saw, Panitia Maulid Nabi Muhammad saw. Di samping itu pendidikan non
formal juga tidak dilupakan seperti kuliah subuh, kuliah pada malam nisfu
sya’ban dan hari-hari besar Islam yang dirayakan di Masjid Agung Asy-Syuhada’
kabupaten Pamekasan, ceramah dan dialog interaktif Radio Swara Gerbangsalam 88,6 FM, akad nikah dan doa
bersama seperti Istighatsah oleh berbagai golongan organisasi Islam. Juga dalam
program pengembangannya Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan pada
tahun Ajaran 2011 akan membuka Play Group, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
Madrasah Diniyah dan Belajar Sampoa, belajar mengaji bagi Lansia.
Gedung Taman Pendidikan Al-Qur’an Asy-Syuhada’ Terletak
di samping belakang bagian utara Komplek Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan.
Semua tercakup dalam pengelompokan, religi, pendidikan,
sosial budaya dan ekonomi, kemasyarakatan dan kepemudaan.
Dengan demikian fungsi Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten
Pamekasan sudah secara estafet, meneruskan budaya Islami yang selaras dengan
budaya lokal, walaupun demikian warna kultur Islam masih dapat terlihat jelas,
hal ini karena kultur Islam memiliki warna khas tersendiri.
PENUTUP
Dalam berbagai
ragam uraian tersebut di atas bisa kita pahami, bahwa :
v
Keberadaan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang sekarang
tidak terlepas dari adanya usaha Raja Pamekasan, Ronggosukowati yang telah
mengawali dengan mendirikan Masèghit Rato (Masjid Raja) yang beliau bangun di
jaman Pemerintahan beliau. (1530 – 1616)
v
Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan masih tetap berada di tempat
masjid pemula yaitu Masèghit Rato.
Dalam perjalanan
panjang Masèghit Rato, telah terjadi perubahan-perubahan pengembangan Masèghit
Rato baik yang dilakukan oleh badan kemasyarakatan maupun oleh Pemerintah
Kabupaten Pamekasan. Hal ini terlihat dari arsitektur yang silih berganti
setiap dilakukan renovasi yang pada hakikatnya menunjuk kepada perubahan jaman,
baik dalam pemikiran maupun dalam perilaku, sehingga terwujud dalam bentuknya
Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang sekarang ini.
v
Fungsi Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan selalu berkembang dan
mengikuti perkembangan pikiran Islam modern tetapi tetap dalam pangakuan ajaran
Islam.
v
Demikian sejarah singkat tentang perjalanan Masèghit Rato hingga saat ini
telah menjadi Masjid megah dengan nama Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten
Pamekasan, buku ini masih sangat
dirasakan kekurangannya. Hal ini memang tidak mungkin penulis dapat merekam dan
mendokumentasi semua yang terjadi atas perkembangan dari Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan yang fungsinya sudah demikian kompleks.
v
Namun demikian walau langkah yang tiada seberapa ini tetap penulis
persembahkan kepada warga Kabupaten Pamekasan dan generasinya atau kepada
siapapun bagi mereka yang ingin mengorek apa dan bagaimana Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan ini.
v
Akhirnya hanya kepada Allah SWT semata penulis panjatkan puji syukur atas
segala rahmat, petunjuk dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita warga
Pamekasan dan penulis khususnya sehingga penulisan ini dapat diselesaikan
sebagaimana yang telah direncanakan.
Dan
juga khususnya kepada generasi muda Madura
semoga
selalu ingat kepada sabda Nabi SAW :
Berbuatlah
untuk duniamu
Seolah-olah
kamu akan hidup abadi
Dan
berIbadalah untuk akhiratmu
Seolah-olah
kamu akan mati besuk
(HR. Muslim)
Saya sudah beberapa kali ke Masjid Asy Syuhada, ternyata lumayan luas banget dan tempatnya yang strategis ditengah kota selain itu dekat dengan monumen arek lancor juga.. essipp pokoknya..
BalasHapusmasjid yang sangat bagus dan indah,
BalasHapuskami dari furniture jepara menawarkan jasa pembuatan pintu masjid.
Pintu Masjid
Mimbar Masjid Jati
Tempat Tidur Tingkat Anak
Tempat Tidur Tingkat
Pintu Masjid Model Nabawi
Tempat Tidur Anak
Pintu Rumah Mewah
Furniture Cantik Jepara
Tempat Tidur Anak Murah