Search

Rabu, 23 Januari 2013

SEJARAH MASJID ANGUNG ASY-SYUHADA` PAMEKASAN

Masjid Agung Asy-Syuhada
Kabupaten Pamekasan
Penerus Masèghit Rato 1530

Diterbitkan oleh
Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada Pamekasan
Jln. Mesigit No. 23 Tlp/Fax. (0324) 329850 Pamekasan-Madura.
 Pamekasan-Madura-Jawa Timur-Indonesia.
                Masjid Agung Asy-Syuhada’ Pamekasan
Penerus Masèghit Rato 1530


Dalam usiaku yang sudah tinggi ini, Apabila karyaku ini sedikit ada pahala dari Yang Maha Esa ,aku persembahkan kepada ayah-bundaku, R. Achmad Sadik & R. St Salama almarhum- almarhumah dan istriku R. Lailatul Baddriyah almarhumah yang telah melahirkan anak-anakku, namun bila ada kesalahan di dalamnya akulah yang menanggungnya dan aku memohonkan  ampun kepada-Nya“ Allahummagfir lahuma, warham huma, Waj’aliljannata matswahuma !”
Amien
A.Sulaiman Sadik


SAMBUTAN

KEPALA  KANTOR KEMENTERIAN AGAMA

KABUPATEN PAMEKASAN



Assalamu’alaikum wr.wb
Sesuai dengan pola tata kehidupan masyarakat Madura, yang memiliki karakter Islam, maka saat ini muncullah masjid-masjid baru dengan ukuran yang bervariasi dari yang sederhana hingga kepada yang indah dan megah.
Melihat perkembangan masjid kota Pamekasan yang semula dimotori oleh Raja Pamekasan, sendiri lima abad yang silam, sungguh sangat menggembirakan. Selain bentuk makin bertambah cantik, segala sarana keperluan peribadatan di dalamnya makin terpepenuhi.
Kiranya usaha Ketua Umum Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang telah melengkapi dengan Lembaga Pendidikan dan Dakwah termasuk di dalamnya  Perpustakaan Masjid untuk memakmurkannya, diharapkan para Jamaah Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan menjadi tidak miskin pengetahuan khususnya tentang sejarah dan kesejarahan masjid, utamanya masjid kita yang telah menjadi saksi sejarah saat Bangsa Indonesia di Madura mempertahankan Kemerdekaannya dari Si Angka ramurka penjajah juga musuh-musuh Islam. 
Semuga buku yang sederhana ini dan penyebarluasannya isinya, yang merupakan hasil kajian pustaka dapat dijadikan tuntunan bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang telah menghiasi kota Pamekasan.
Demikianlah semuga Allah selalu memberi rahmat, taufik dan hidayah-Nya bagi kita semua. Amien.
Wallahulmuwaffiq ilaa Aqwamiththoriq
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Pamekasan, tanggal :16 Mei 2011
Kantor Kementerian  Agama
Kabupaten Pamekasan.
KEPALA,

(KH. ABD. WAHID, S.Ag., MM.)


KATA PENGANTAR PENYUSUN


Assalamu’laikum  wr.wb
Buku hasil penelitian Pustaka ini penyusun rangkum bermula atas permintaan Ketua Umum Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan. Beliau ingin Perpustakaan Masjid Agung Asy-Syuhada’ melengkapi koleksinya dengan catatan tentang keberadaan Masjid Agung              Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan dengan segala yang terkait selama perjalanannya dari berbagai jaman yang dilaluinya termasuk masuknya agama Islam itu sendiri ke Madura khususnya ke daerah kita, Pamekasan.
Alhamdulillah, berkat Rahmat-Nya dan pertolongan-Nya apa yang kita inginkan saat ini sudah terwujud dan telah berada di tangan pembaca.
Dengan tersajinya rangkuman ini kepada pembaca semoga memberi tambahan pengetahuan, bila hal tersebut merupakan kebajikan semoga kebajikan tersebut mendapat ridlo dari Allah SWT.
Tiada gading yang tak retak, maka dengan ini penyusun  menyadari bahwa buku ini tentu tidak terlepas dari kekurangan baik dari segi jangkauan ruang lingkupnya maupun tutur bahasanya atau tatanan redaksinya. Oleh sebab itu penyusun secara terbuka menerima nasihat dan kritik yang membangun yang ditujukan langsung kepada penyusun.
Semoga buku ini dapat memberikan sumbangan walau ala kadarnya kepada hasanah pustaka, informasi, pemikiran bagi pembaca termasuk sumbangan kajian dan renungan bagi kita penerus mereka yang telah menciptakan sejarah bagi kita.
Billahit taufik wal hidayah.



Pamekasan, 16         Mei         2011.
                     12 Jumadil Awal 1432.

Penyusun,


(A. SULAIMAN SADIK.)

 
KATA PENGANTAR
KETUA UMUM YAYASAN TAKMIR MASJID AGUNG
“ ASY-SYUHADA’ “
KABUPATEN PAMEKASAN

Assalamu’alikum. Wr Wb
Perasaan keagamaan yang mendalam sesudah merenungkan dan membaca banyak buku tentang Islam, telah menimbulkan rasa keinginan untuk mendalami ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, khususnya tentang keberadaan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan. 
Semua keinginan tersebut tercipta karena dorongan perasaan cinta Islam yang dalam dan keimanan yang murni, walaupun buku ini sangat sederhana diharapkan agar bisa memberi kesimpulan kepada pembacanya, bahwa Islam dapat membangkitkan perasaan murni yang membangunkan dan menghidupkan jiwa, memancarkan sinar cemerlang yang telah menerbitkan pintu-pintu penelitian sehingga manusia berhasil mendapatkan jalan kearah kebenaran, yaitu Allah Yang Maha Benar dan Maha Suci.
Perasaan-perasaan keagamaan yang tersembunyi jauh dalam lubuk hati itu mereka manifestasikan dengan mendirikan dan mendesain bangunan masjid-masjid yang indah tempat menyembah Allah.
Kita setelah berhasil mengembangkan Masêghit Rato  menjadi masjid yang megah dalam ukuran kita seperti Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten pamekasan ini setelah kurang lebih lima ratus tahun setelah keberadaannya masjid pertama di kota kita, segala puji bagi Allah yang telah menolong kita membangun masjid berkubah ini yang lebih indah dari mesjid kita sebelumnya.
Penulisan buku ini semoga diridloi-Nya, karena hanya Allah jualah Penghitung Amal yang paling sempurna.
Wallahulmuwaffiq ilaa Aqwamiththoriq
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Pamekasan, 16 Mei  2011
Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada,
Kabupaten Pamekasan
KETUA UMUM,

(Drs. H. RP. ABD. MUKTI, M.Si.)
 
SEKAPUR SIRIH
DARI JAMAAH MASJID AGUNG ASY-SYUHADA’
KABUPATEN PAMEKASAN
Masjid, peran dan fungsinya, sentral bagi umat Islam. Di masjid seorang muslim sholat berjemaah, bermunajad di hadapan Allah SWT, berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Di masjid seorang muslim menitipkan amal shadaqahnya untuk disampaikan kepada sesama yang membutuhkan. Di masjid anak-anak belajar baca tulis Al-Quran dan menerima pendidikan agar menjadi muslim sejati. Di masjid seorang muslim bersilahturahmi dengan sesama dan berdiskusi tentang kebaikan dan kemajuan umat. Idealnya memang sebuah masjid menjadi pusat ibadah dan pusat tamaddun.
Demikian halnya dengan Masjid Agung Asy-Syuhada’ (MAAS) Kabupaten Pamekasan. Jama’ah shalat rawatib semakin ramai, termasuk jamaah ibu-ibu; shadaqah jamaah semakin besar jumlahnya; anak-anak yang belajar di Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan semakin banyak. Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan menebarkan shadaqah dan menyantuni anak yatim. Tak urung lagi, Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan makin makmur, menuju masjid yang ideal.
Buku Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan (penerus Masèghit Rato-1530), karya A. Sulaiman Sadik yang diterbitkan oleh Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan, memaparkan sebuah perjalanan masjid ini sejak bernama Masèghit Rato hingga menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan. Di samping sejarah, juga dipaparkan upaya nyata yang dilakukan Takmir serta kondisi masjid. Kami yakin, Jamaah Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan menyambut gembira terbitnya buku ini.
Mereka yang membaca buku ini di samping bisa mengetahui tentang apa dan bagaimana Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan, juga diharapkan akan meningkat kecintaan terhadap masjid

Pamekasan, 16         Mei         2011.
12 Jumadil Awal 1432.


(Drs. H. KADARISMAN SASTRODIWIRJO, M.Si.)



DAFTAR ISI

  • Halaman  Judul , 2
  • ------------------------------------------------------------------------------------------------------
  • Pernyataan & Doa  Penyusun, 3
  • Kata Sambutan Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Pamekasan, 4
  • Kata Sambutan Bupati Pamekasan, 5
  • Kata Pengantar dari Penyusun, 6
  • Kata Pengantar Ketua Umum Yayasan Takmir Masjid Agung  Asy Syuhada Kabupaten Pamekasan,7
  • Sekapur Sirih dari Jamaah, 8
  • Daftar Isi, 9
  • ------------------------------------------------------------------------------------------------------
  • Pendahuluan , 10
  • Agama Islam masuk Madura, 11
  • Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan, Sejarah pembangunannya, 17
  • Pemugaran dan perluasan Masjid, 20
  • Ruang dan Interior Masjid , 27
  • Fungsi Masjid , 42
  • Penutup , 51
  • -----------------------------------------------------------------------------------------------------
  • Pustaka Kajian , 52
  • -----------------------------------------------------------------------------------------------------
Lampiran-lampiran , 53


-----ASAS-----



PENDAHULUAN

اعوعذ بالله من ا لشيطان١لژجيم لبسم ١لله ١لژحمن ١لٌر  حيم  والٌصل١ة و
١لسٌل١م  علی سيٌد ن١محمٌد وعل١له وصحبه   ولتٌ١بعن١لى يو م١لد ين
Saya mohon pertolongan Allah dari pengaruh syetan yang terkutuk saya mulai  naskah ini dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang mohon pertolongan dan taufik dari pada-Nya diiringi dengan doa mudah-mudahan salawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah atas panutan umat, Nabi Muhammad Saw Dan atas semua keluarga sahabat dan pengikut-pengikut beliau sambung bersambung sampai hari kiamat. pendiri Pajang dan pendiri Majapahit  membentuk Dinasti baru di Madura.
Dalam hal perkembangan keagamaan, Madura sepenuhnya mengikuti tumbuh dan berkembangnya agama di Jawa. Seperti mundurnya Agama Budha yang kemudian munculnya Agama Islam di Jawa, demikian pula di Madura. Agama Islam  kemudian menjadi karakter orang Madura. Tak seorangpun orang Madura yang tidak mengaku Islam, kalaupun ada mereka yang tidak Islam mereka tidak berani terus terang bahwa dirinya bukan Islam, Kalau mereka berani terus terang bahwa dirinya bukan Islam, mereka oleh masyarakat akan dikeluarkan sebagai orang Madura. Seperti para penguasa Madura di jaman Hindu / Budha di jaman Islam pun para penguasa juga menjadi peminpin Agama dan baru setelah Madura berada di tangan Mataram, penyelenggaraan Agama bagi masyarakat dilaksanakan oleh orang yang ditunjuk oleh penguasa dalam makna Peminpin Agama berada dibawah pengaruh para penguasa.
Tulisan ini penulis angkat dari hasil kajian pustaka yang penulis tekuni sejak lama  yang mendapat dorongan untuk menyajikan Sejarah keberadaan masjid di Kabupaten Pamekasan. Dalam hal ini banyak pendekatan yang dipakai untuk penelusuran, walaupun demikian penulis masih tetap menggunakan informasi yang masih bisa diperimbangkan sebagai sumber, atau menggunakan imajinasi bilamana terpaksa harus dilakukan yang pada hakikatnya dalam penulisan sejarah dibenarkan. Walaupn demikian spekulasi yang penulis ambil yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Obyek studi pustaka  diakui memang sangat beragam, namun tidak semua dari yang ada tersebut yang dapat penulis angkat. Karena itu mengingat metodologi tersebut di atas maka pustaka yang ada dipilih secara selektif stratifikasi  berdasar perkembangan jaman secara kronologis.

Bagi penulis, kebudayaan Islam sudah sangat dinamis dan ini terlihat pada :
  1. Seorang Muslim menghargai akal pikiran manusia.
  2. Islam menganjurkan pemeluknya untuk menuntut ilmu, baik ilmu yang diwahyukan (Ilmu yang disebutkan dalam kitab suci yang diturunkan melalui para anbiya), ilmu yang diilhamkan,  ilmu yang diperoleh lewat para pemikir. Ataupun ilmu yang dihamparkan. (sebagaimana kita bisa mengetahui terjadinya hujan)
  3. Islam melarang pemeluknya menjadi Pak Turut sebagaimana difirmankan Allah dalam            Al Qur’an:
  4. “ Dan janganlah engkau turut-turutan saja dalam hal yang engkau tidak ketahui (karena) sesungguhnya pendengaran dan penglihatan  serta hati, semuanya itu akan ditanya tentang hal itu “ (ayat 38 )
  5. Islam mengajarkan pemeluknya untuk berinisiatif dan berkreasi. Agama Islam menganjurkan agar selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan, merintis jalan, berinisiatif, untuk dunia yang ber-manfaat bagi manusia, sebagaimana  sabda Nabi SAW ;
  6. “ Barang siapa memenuhi suatu cara (dalam keduniaan) yang baik ia akan dapat ganjaran  sebanyak ganjaran orang  yang menggunakan cara yang baik itu  sampai hari kiamat.               “ (Al-Hadist.)
  7. Islam melarang kepada pemeluknya mengabaikan dunia. Pengumpulan dunia bagi umat Islam adalah dengan cara yang telah dituntunkan oleh Agama, bukan sekehendak hatinya , :
  8. ” Tuntutlah dengan apa yang telah diberikan Allah  kepadamu, negeri akhirat dan jangan kamu lupakan nasibmu di atas dunia ini .” (Q Al-Qasas , ayat 77 )
  9. Agama Islam menganjurkan kepada pengikutnya untuk melakukan akulturasi / mengadakan hubungan antar sesama, kerabat dan keluarga, bertukar pikiran dan memahami ilmu pengetahuan. : Allah SWT berfirman :
  10.   Tidak mereka berjalan di atas bumi, supaya mereka mempunyai akal untuk berfikir, atau telinga untuk mendengar, karena sesungguhnya bukan mata mereka yang buta melainkan hati mereka yang ada dalam dada mereka “ (Q Al Haj,46)         

MASUKNYA AGAMA ISLAM DI MADURA

Datangnya Agama Islam di Pulau Jawa bertepatan masih jayanya Majapahit yang saat itu dipimpin oleh Raja Hayamwuruk Rajasanegara atau Brawijaya ke-IV dengan patihnya yang bernama Gajah Mada. Saat itu raja merupakan juga pemimpin, karena itu sejalan dengan kemasyhuran Hayamwuruk dan Gajah Mada yang beragama Budha, agama Budha pun menjadi kuat perkembangannya dalam masyarakat. Saat seperti itu Agama Islam bagi  Rakyat masih merupakan agama pendatang baru yang dibawa para pedagang dari Gujarat di India dan pedagang Cina yang datang melalui Campa. Agama Islam masuk Madura.
Dalam fakta yang ada dalam historiografi masuknya Agama Islam ke Madura sangat sulit ditemukan namun data dari sumber tradisi lisan yang hampir selalu digali melalui wawancara. Dengan demikian sentesis dilakukan dengan mengusut dan menarik hubungan intrinsik atas fakta berdasarkan teori kecocokan.
Di antaranya yang memerintah di Madura (Pamadekan, Sampang) yaitu yang bernama Bondan Kejawan atau Lembu Petteng. Walaupun disebut-sebut bahwa Lembu Petteng beragama Islam, namun putera-puteranya tak seorangpun yang menganut Agama Islam, putera-putera Lembu Petteng tersebuut cenderung mentaati keinginan ibunya yang masih beragama Budha. Karena itulah kemudian Lembu Petteng meninggalkan posnya di Madekan pergi ke Ampel untuk mengabdi kepada Sunan Ampel.
Dari Lembu Petteng inilah keturunannya menyebar kedaerah Madura Barat yang kemudian dikenal sebagai Raden Pratanu raja di Arosbaya dan Ronggosukowati raja Pamekasan. Beberapa data dari sumber tradisi lisan dan tulis tentang masuknya Agama Islam ke Madura dapat disebutkan antara lain:
Disebutkan bahwa keponakan Lembu Petteng yang bernama Aryo Menaksunoyo, putera dari Ki Aryo Damar membuka daerah baru yang saat ini kita kenali bernama Proppo. Di kemudian hari dua keluarga bersaudara seayah tersebut (Lembu Petteng dan Aryo Damar) bersatu dalam pernikahan dari keturunan mereka. Ki Aryo Pojok  keturunan  ke-4 dari Aryo Damar di Madura menikah dengan Nyi Ageng Budho puteri Aryo Pratikel atau cicit dari Lembu Petteng. Dari pernikahan ini lahir seorang putera yang kemudian menjadi demang di Plakaran (Daerah barat laut dari Pamadekan), karena itu beliau disebut          Ki Demang Plakaran. Ki Demang Plakaran ini mempunyai putera diantaranya ada yang bernama Aryo Pragolbo yang disebut juga Pangeran Plakaran dan diantara putera Pragolbo ada yang bernama Raden Pratanu dan Raden Pramono. Raden Pratanu kemudian menjadi raja di Arosbaya  dan Raden Pramono kemudian menikah dengan Nyi Banu Ratu Pamelingan puteri dari Ki Aryo Mengo. Dari perkawinan ini lahirlah seorang laki-laki yang diberi nama Pangeran Nugeroho yang kemudian menjadi raja Pamelingan. Beliau mempunyai beberapa orang putera dan puteri salah seorang puteranya diangkat menjadi adipati di Pamadekan. Puteranya yang lain bernama Raden Aryo Seno oleh kakandanya, adipati Pamadekan diangkat menjadi rangga, karenanya Raden Arya Sena lalu dikenal bernama Pangeran Rangga yang kemudian menjadi raja di Pamelingan dan  bergelar Ronggosukowati.
Dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, HJ.De Graaf & TH.Pegeaud menulis antara lain tentang Madura sebagai berikut :
“ Adanya hubungan dengan jatuhnya kerajaan kafir Majapahit lalu menjadi lebih masuk akal, apabila cerita tutur Madura Barat tentang masuk Islamnya raja Islam pertama benar. Karena mimpi putera mahkota, seorang patih Madura bernama Empu Bagna diutus ke Jawa Tengah untuk mengetahui seluk-beluk keadaan di sana. Ia menyerah kepada Sunan Kudus untuk diislamkan dan sekembalinya di Madura Barat ia dapat menggerakkan hati tuannya sang putera mahkota, untuk berbuat demikian pula ”
Di buku lain, buku R. Zainal Fatah, tulisan yang berkaitan dengan masuknya Agama Islam ke Madura, beliau menulis sebagai berikut :
“ … yaitu Kiyai Pratanu, beliau sangat dicintai oleh ayah-bundanya. Beliau diperkenankan  mendirikan sebuah rumah di tanah ayah-bundanya dengan didiami sendiri. Pada suatu malam beliau bermimpi mendapat tamu seorang asing yang mengaku dirinya bernama Sayyid Magrabi menyuruh kepada beliau supaya beliau memeluk Agama baharu yaitu Islam sedang guru yang dapat memberi pelajaran itu agama ialah Sunan Kudus “
Raden Zainal Fatah dalam bukunya sebagai berikut :   
“ Di jaman Kudho Panule diceritakan bahwa di suatu daerah di dekat desa Sumursongo (Parsanga) di Sumenep ada datang seorang penganjur agama Islam kepada rakyat di Sumenep. Apabila seorang murid (santri) telah dapat dianggap melakukan rukun Agama Islam, maka ia lalu diberi mandi air dengan dicampuri rupa-rupa bunga yang harum baunya. Melakukan secara mandi demikian oleh orang Madura di namai  êdhudhus artinya diberi adus artinya diberi mandi. Dari sebab itu maka itu tempat disebut orang Desa Padhusan. yang sekarang menjadi nama kampung di desa Pamoloan, Kota Sumenep, Guru yang memberi pelajaran agama itu lalu disebut juga Sunan Padhusan, ia asal turunan Arab, akan tetapi telah memakai nama Jawa yaitu Raden Bandara Diwiryopodho. Ia punya ayah bernama Usman Haji anak dari Raja Pandita alias Sunan Lembayung Fadal yaitu anak dari Makdum Ibrahim Hasmoro yang disebut orang Maulana Jamadul Akbar‘ Ini orang beristri seorang putri Cina yaitu saudara muda puteri Cempa permisuri raja Majapahit yang penghabisan”.
Dalam cerita tutur yang lain, Diwiryopodo, bernama Pangeran Katandur, ada juga yang menyebut Pangeran Satandur. Katandur sendiri bermakna ahli pertanian, memang kedatangan Pangeran Katandur tersebut sebagai orang yang mengerti ilmu pertanian ingin membantu rakyat Sumenep dalam bercocok tanam. Saat itu Sumenep mengalami kemarau panjang sawah tidak menghasilkan padi, karena sawah tidak berair lagi. Namun Pangeran Katandur mengajari para petani bertanam tanaman pangan dari jenis bukan padi seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Selain itu Pangeran Katandur memikul tugas dari kakeknya untuk menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat Sumenep. Sebenarnyalah Pangeran Katandur itu cucu dari Sunan Kudus nama aslinya adalah Sayyid Ahmad Baidowi yang meninggal di Sumenep yang di nisannya tertulis angka tahun Saka 1248 S atau 1412 M.
Di daerah kecamatan Proppo juga ada legende yang hidup dalam masyarakat, yaitu legende Buju’ (Buyut) Kasambhi. Buju’ Kasambhi ini nama aslinya adalah Kiai Abdulmanan beliau seorang mubaligh Agama Islam yang datang dari Giri, Gresik ke Madura, masih satu marga dengan Syeh Sayid Yusuf yang kuburannya dikeramatkan orang di Pulau Puteran, yang letaknya berhadapan dengan Pelabuhan Kalianget di Kabupaten Sumenep yaitu marga Al-Anggawi. Mula-mula beliau berdakwah di daerah Sampang di (desa?) Salarom (daerah kecamatan Omben), kemudian pindah ke Bira di pesisir utara Sampang (Ketapang) di situ Sang Mubaligh menikah dengan orang setempat dan berputera seorang yang kemudian oleh masyarakat setempat  putera tersebut dikenal sebagai Buju’ Birâ. Dari Bira Kiai Abdulmanan pindah lagi ke Kampung Kobasan di desa Pangbhâtok kecamatan Proppo kabupaten Pamekasan.
Bila kita teliti kisah atau legende-legende tersebut di atas, sesungguhnya merupakan kisah masuknya serta pengembangan Agama Islam di Madura. Sebenarnya sangat banyak tempat pengembangan tersebut di seluruh Madura hal tersebut kini bisa terlihat banyaknya pesantren di seluruh Madura yang penulis tidak menyebutkan di sini nama-nama dan jumlah pesantren tersebut. Namun yang jelas menurut hasil penelitian DR. H. Moh. Kosim, M.Ag dari STAIN Pamekasan di Pamekasan tahun 1515 sudah ada pesantren yaitu Pesantren Sombher Anyar Tlanakan yang dipimpin oleh Kiai Syuber dan beliau juga mengajar keluarga Kraton Pamelingan karena itu beliau disebut Kèyaè Rato. Pesantren Somber Anyar hingga saat ini masih berjaya. Dengan demikian diperkirakan pada perempat abad terakhir ke-16 Islam sudah tersebar di Madura, hal ini untuk mendirikan sebuah pesantren di suatu tempat yang semula masyarakatnya penganut Budha tentu memerlukan waktu yang cukup lama, lebih dari itu dalam catatan Madura daerah Pamekasan penduduknya paling akhir memeluk  Agama Islam dibandingkan dengan daerah lainnya di Madura. Katakanlah berdasar dari berbagai kutipan tersebut di atas ditambah dengan adanya legenda yang merakyat tentang  Kiai Abdulmanan dari Giri, maka kita bisa memahami bahwa Islam masuk Madura pada jaman Sunan Kudus dan jaman Sunan Giri, sekaligus bisa kita menganggap bahwa sejak jaman walisanga Islam sudah masuk ke Madura.
Pada tahun 1530 Panembahan Banurogo wafat dan Raden Aryo Sena alias Pangeran Rangga menggantikannya. Pelantikan Pangeran Ronggo dilaksananakan pada tanggal 12 Rabiul Awal 937 H atau pada tanggal 3 Nopember 1530. Beliau dilantik oleh Ulama spiritual kerajaan bernama Kiai Tasyrib. Setelah pelantikan beliau bergelar Panembahan Ronggosukowati. Dengan demikian sebutan Rangga masih beliau pakai lebih dari itu masyarakat  di Pamadekan masih menyebut beliau Pangeran Rangga. 
Pada jaman Ronggosukowati pusat kerajaan yaitu kraton dipindah ke bagian  barat kraton Pamelingan, beliau membuat kraton baru yang diberi nama Kraton Mandhilaras, Mandhilaras bermakna kedamaian dan kemulyaan. Sedangkan kerajaan Pamelingan dengan nama Pamekasan. Lokasi kraton Mandhilaras saat ini ialah di lokasi Kantor Bakorwil Madura yang diapit oleh jalan Slamet Riadi di selatan, jalan Agussalim di bagian Timur dan di utara jalan Pongkoran. Sedangkan di sisi barat adalah perkampungan, yaitu Kampung Pongkoran dan Kampung Gheddhungan. Sedangkan Jalan Mandhilaras sendiri sebenarnya hanya  merupakan cabang dari Jalan Pongkoran Pada saat pemerintahan Ronggosukowati, pemerintahannya dinilai sudah memenuhi syarat sebagai sebuah pemerintahan dari sebuah Negara. Kerajaan Pamekasan telah tersusun dari berbagai kebutuhan bagi kepentingan sebuah pemerintahan seperti adanya asrama tentara / prajurit yang masa sebelumnya prajurit dikumpulkan hanya bilamana ada perang. Pasar juga di adakan untuk mendukung perekonomian rakyatnya walaupun saat itu masih lebih banyak dilakukan system barter. Selain pasar, penjara yang lebih manusiawi (dibangun di atas permukaan tanah yang sebelumnya di bawah tanah) dibangun, saat ini lokasinya di komplek Perpustakaan Umum Kota Pamekasan. Tempat beribadah juga dibangun sesuai dengan Agama yang dianut Raja Ronggosukowati yaitu Islam, maka beliau membangun sebuah mesjid yang dinamakan Masèghit Rato, yang terletak di tepi sungai tidak jauh dari kraton Mandilaras. Tempat dekat sungai sangat tepat karena masjid harus dibangun dekat air yang kepentingannya diperlukan terus-menerus karena sebelum sholat diharuskahn berwudlu / bersuci. Masèghit Rato (Masjid Raja) diperkirakan sama bahan pembuatannya dengan masjid Sunan Giri yang mula-mula yaitu terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Masjid-masjid seperti itu terus di bangun di daerah kekuasaannya yang saat ini Masèghit Rato telah menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’  setelah pembangunan masjid dilakukan dengan tipe bangunan besar, masjid dari kayu beratap rumbia tersebut lalu disebutnya langgar / langghâr hingga saat ini sangat banyak di Madura di tempat yang berbeda di Madura sering disebut kobhung.

MASJID  AGUNG ASY-SYUHADA’,

SEJARAH PEMBANGUNANNYA :


 

Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan bermula dibangun di tempat yang sama yaitu tempat  Masêghit Rato atau masjid raja karena yang mendirikan masjid yang mula-mula tersebut adalah Raja Ronggosukowati. Raja Ronggosukowati memang merupakan raja Pamekasan yang pertama beragama Islam. Dengan demikian masjid yang ada saat ini merupakan pengembangan dari  Masêghit Rato  tersebut. (Nama masèghit Rato sebenarnya diberikan kepada masjid yang dibangun oleh raja). Hal tersebut karena raja membuat tempat syujud atau masjide, pemberi nama ini datang dari kelompok keturunan langsung Ronggosukowati antara lain marga Adikara. Namun setelah Madura dikuasai Mataram yang kemudian oleh Mataram diterimakan kepada Belanda, semua yang berbau Madura dikecilkan dan pada hakikatnya Stigma bagi Madura mulai terasa. Sebutan langgar adalah pantas bagi Madura menurut mereka bahkan Raden Pratanupun disebutnya sebagai Pangeran Langgar, karena itu sejarawan di Jawa hanya mengenal seorang  pangeran di Madura yaitu Pangeran Langgar yang tertulis di makam Sunan Kalinyamat di Jawa Tengah. Karena itu pula setelah jaman berikutnya terutama setelah Bupati Hindia Belanda yang Pertama di Pamekasan (1804) Masèghit Rato disebut juga dengan sebutan Langghâr Rato. Masjid Raja tentunya sama dengan masjid-masjid pemula di Jawa termasuk Masjid Giri ataupun Ampel, semuanya masih berwujud surau atau langgar apabila dibandingkan dengan saat ini Seperti Masjid Giri yang berbentuk langgar beratapkan jerami, baru kemudian setelah Sunan Giri diangkat sebagai penasehat Raden Fatah dan sekaligus sebagai ketua para sunan di tahun 1407 Masjid Giri dinamakan masjid Jamik. (Zain, 1987).


Bangunan masjid pada hakikatnya dibangun sebagai tempat sujud kepada Al Khaliq, Sujud yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan berbagai keterangan dalam Al-Hadist. Hal tersebut karena pengertian sujud dalam Islam adalah kepatuhan ketundukan yang dilakukan dengan penuh kehikmatan sebagai pengakuan muslim sebagai insan hamba Allah kepada Sang Pencipta, Allah Rabbul Alamin, tidak kepada yang lain di alam semesta ini. Hal ini sesungguhnya di mana pun di bumi ini merupakan tempat sujud yang dalam bahasa kita di sebut masjid. Namun demikian Al-Qur’an dan Al-Hadist, tidak memuat aturan-aturan bagaimana masjid atau tempat sujud tersebut harus dibuat dalam makna sebagai pengungkapan fisik dari bangunan masjid. Sebaliknya dalam keduanya termuat banyak kaidah-kaidah bagaimana beribadah dalam masjid dan kegiatan apa saja yang boleh atau yang tidak boleh dikerjakan di dalam masjid. Karena itu kemudian dalam hal bentuk masjid ini  mengundang kreativitas bagi umat Islam untuk mengungkapkannya senafas dengan ajaran agama yaitu Islam. Masjid raja sendiri dibangun dalam pengertian seperti itu pula, tentu saja sesuai dengan  tingkat kemajuan  teknologi  dan tingkat kemampuan dan kondisi masyarakat Pamekasan saat itu. Namun yang jelas pada umumnya di negeri kita bentuk masjid memiliki langgar sendiri , langgar yang dipengaruhi  oleh alam lingkungan tempat masjid itu berada, demikian pula selalu dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat pendukungnya atau bisa  terjadi akulturasi dengan budaya daerah lain yang dianggapnya memperkaya kebudayaannya.

Masjid Raja  tidak seperti kebanyakan masjid lainnya di Jawa atau di Madura setelah jaman perkembangan masjid. Masjid Giri sendiri misalnya, semula tidak berada di komplek pemakaman, tetapi berada terpisah dengan makam Sunan Giri. Masjid Giri semula berada di Giri Kedaton; namun karena banyaknya pezirah ke makam Sunan Giri di Bukit Giri, diambil kebijakan pada tahun 1544 M masjid Giri dipindah dari Giri Kedaton ke Bukit Giri seperti adanya sekarang. Namun tidak demikian dengan masjid Raja yang dibangun oleh Raja Ronggosukowati di sekitarnya tidak ada pemakaman. Karena itu Makam Ronggosukowati tidak berada di komplek masjid yang dibangunnya.

PERLETAKAN  MASJID

Hampir seluruhnya langgar yang dibangun masyarakat Islam saat itu di Madura dibuat dengan styel masjid Sunan Giri tersebut yaitu dari kayu dan beratapkan rumbia. Sebagai contoh Langghâr Ghâjâm / Langgar Gayam yang saat ini masih utuh yang terletak di Kampung Ghâjâm desa  Proppo, Pamekasan yang diperkirakan dibangun abad ke18 terbuat dari  kayu dan beratapkan jerami Bangunan Masjid Rato berdiri di atas tanah (yang tentunya milik raja) tepat berada di tepi sungai. Penempatan di tepi sungai Kampung Masèghit yang lokasinya di sisi barat sungai dekat masjid raja hingga kiri-kanan masjid merupakan tempat orang-orang yang bekerja / pekerja, pemelihara masjid. Namun setelah di dekat masjid di bagian sisi utara dibuat taman, maka kampong masèghit menjadi ciut dan yang tersisa di bagian sisi barat sungai, sampai saat ini masih bernama Kampung Masèghit. Sedangkan bagian kampong Masèghit dibagian sisi utara masjid lalu menjadi Kampung Taman dan di kanan mesjid berubah pula namanya dari kampong Masèghit menjadi Kampung Barat Pos setelah Pemerintah Jajahan mendirikan kantor yang berfungsi Jasa Pos, di ujung Jalan Masigit yang sekarang. Namun perubahan pemelihara / pekerja masjid terus berlangsung. Setelah dynasti Ronggosukowati yaitu pewaris sebagai pemilik lokasi mesjid / sebagai pewaris dari raja yang memndirikan masjid rato satu demi satu tidak lagi berkuasa di Pamekasan, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1804 mengangkat saudara Sultan Bangkalan menjadi Bupati Pamekasan, dan pengurusan masjid diangkat pegawai dari kerabat kaum bangsawan dengan pangkat panggilan Tumenggung, yang ditempatkan di perkampungan yang namanya Kampung Tumenggungan yang hingga saat ini diteruskan oleh pelanjut keturunannya.

Langgar Gayam di Desa Proppo



PEMUGARAN DAN PERLUASAN MASJID
Perkembangan Masjid Raja kemudian selalu mengikuti jaman para penguasa di Pamekasan yang terus berlangsung dari masa ke masa yang tidak terlepas dari perkembangan arsitektur masjid yang ada di Jawa Timur, sebagaimana yang terlihat kemudian sampai saat ini seperti. Langgar masjid zaman wali, langgar masjid zaman penjajahan dan langgar masjid zaman kemerdekaan. Bagi Pamekasan Insya Allah pada masa awalnya masjid Raja mengambil langgar Masjid Sunan Giri sebagaimana disebutkan di atas tentang masjid Sunan Giri. Kemudian dalam langgam penjajahan kita kenali masjid kita di Pamekasan ini sebagai Masjid Jami’ yang selanjutnya kita masuki langgar masjid langgar jaman kemerdekaan  dalam makna bentuk masjid mana suka bagi yang mau membangunnya dan biasanya merupakan langgam campuran masjid modern seperti Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan  yang kita miliki saat ini. 
Masjid Raja ini kemudian direnovasi oleh para Bupati / penguasa setelah masa-masa berikutnya. Setelah Madura ditaklukkan Mataram, Sultan Agung memerintahkan penggusuran Masjid Raja dan di atas lokasinya tersebut dibangun kembali bentuk mesjid yang umum di Pulau Jawa saat itu yaitu Mesjid Langgar Mataram dan telah disetujui Sultan Agung yaitu bangunan tajung tumpang tiga bagaikan bangunan meru tempat peribadatan masyarakat agama Budha. Perubahan ini dilaksanakan ketika pemerintahan Adipati yang  bernama Raden Gunungsari bergelar Adikoro I yang memerintah setelah ayahnya (Pangeran Celleng atau Megat Sekar yang memerintah Pamekasan setelah perang puputan / penyerangan Mataram pada tahun 1624.) dipindah oleh Mataram untuk mewakili Mataram memerintah Sumenep  (Adikoro I ini adalah putera dari Pangeran Celleng, atau Megat Sekar, putera dari Pangeran Purboyo, putera dari Ronggosukowati.) tepatnya pada tahun 1672. Kemudian Mataram menyerahkan Madura Timur (Pamekasan dan Sumenep) kepada VOC.
Pada saat VOC jatuh pada Tahun 1799, semua daerah koloninya diserahkan kepada Pemerintah Belanda di Negeri Belanda  termasuk  daerah Madura. Kemudian jajahan VOC tersebut oleh Belanda dinamakan Hindia Belanda dan Madura termasuk di dalamnya. Selama itu hingga tahun jatuhnya VOC Masjid Pamekasan belum direnovasi baik fisik dan tatanan pemeliharaannya atau ketip-ketipnya. Namun semula Masjid Raja (1530) atau masjid renovasi tahun 1672 dilakukan cuma sekedar untuk syahnya shalat Jum’at untuk menampung jamaah sebanyak 40 orang menurut mazhab As-Syafii. Pada  pemerintahan Bupati R. Abd Jabbar gelar R. Adipati Ario Kertoamiprojo, yang memerintah dari tahun 1922 s/d 1934’ Masjid rehap tahun 1672 tersebut diperluas ke samping dan ke depan yang demikian karena makin banyaknya jamaah khususnya saat mendirikan shalat Jum’at dan pada hakikatnya masjid sedang diarahkan untuk menjadi masjid jamik Kota Pamekasan.
Pada tahun 1804 Pemerintah Penjajahan Hindia Belanda mengangkat saudara dari Sultan Bangkalan yang bernama Abdul Latif Palgunadi sebagai Bupati Pertama Hindia Belanda  di Pamekasan. 
Tepatnya pada tanggal 10 Nopember 1804 yang kemudian dikukuhkan dengan SK Tanggal, 27 Juli 1819 sebagai Panembahan Pamekasan dengan gelar Panembahan Mangkuadiningrat. Sejalan dengan pengukuhan tersebut Pemelihara masjid atau ketip masjid dipercayakan kepada Pejabat yang diangkat oleh Pemerintah Panembahan Pamekasan dengan pangkat Tumenggung yang ditempatkan di tanah milik Pemerintah Panembahan Pamekasan di sekitar masjid sebagai perluasan dari Kampung Masèghit (kampung Masjid)  yang sudah ada yang saat ini masih berbekas di Kampung Tumenggungan. 
Namun kemudian pada tahun 1939, saat Pamekasan diperintah oleh Bupati R. A. Asiz (R. Abd Azis (SIS)  berkuasa dari tahun 1939-1942) atas anjuran Gubernur Jawa Timur saat itu yaitu van der Plaas, masjid rato yang telah beberapa kali mengalami renovasi tersebut dirombak total dan di atasnya di bangun mesjid styel Walisongo yaitu segi empat beratap tajung tumpang tiga. Tetapi  masjid yang dibangun masa pemerintahan Bupati R. A. Abdul Azis ini tidak sepenuhnya menurut styel walisongo, sebab tidak memiliki serambi. Bahkan Tiang agungnya terdiri dari 16 batang tiang bukan empat. Tiang sebanyak itu untuk menunjukkan bahwa masjid ini dibangun di atas tanah masjid yang mula-mula yaitu Masêghit Rato yang dibangun pada abad Ke-16. Setelah renovasi pada tahun 1939 yang diresmikan  pada tanggal 25 Agustus 1940 masjid ini lalu dinamakan Masjid Jamik Kota Pamekasan dengan dua buah menara kembar di kanan-kiri masjid, menara setinggi 20 meter. Nama masjid jamik ini bertahan hingga tahun 1980, bahkan tidak sedikit penduduk Pamekasan yang menyebutkan demikian hingga saat ini.


Masjid jami’ Pamekasan
Diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1940

  Pada tahun 1980 masjid ini diperluas ke depan sejauh lima meter. Tambahan ini merupakan serambi dan bentuk depan masjid kemudian seperti  masjid  Belimbing di Kota  Malang. Penambahan ini dilakukan atas perintah Bupati Pamekasan, Mohammad Toha yang memerintah pada tahun 1976 sampai dengan tahun 1982. Dengan demikian hasil Renovasi ini membuahkan masjid ini memiliki serambi yang tertutup dan perubahan ini bisa diterima karena masjid-masjid di jaman walisongo semuanya memiliki serambi.



Bangunan kantor Takmir Masjid Agung Asy-Syuhda’ Kabupaten Pamekasan tahun 1939 bertahan hingga renovasi tahun 1995. Namun kolam bundar untuk mengambil air wudhu sudah tergusur dan pengambilan air wudhu ditempatkan di bagian utara depan menara. Sebagaimana tampak pada gambar, serambi Masjid Jamik Kabupaten Pamekasan hasil renovasi tahun 1980 terkesan menyerupai bagian depan Masjid Blimbing Kota Malang. (foto tahun 1983)
 
 


Selain dari itu untuk mengenang para Syuhada’ yang syahid pada waktu Serangan Umum pada tanggal 16 Agustus 1947 yang dilakukan oleh para pejuang Republik Indonesia di Madura terhadap pendudukan serdadu Belanda di kota Pamekasan. Mereka menduduki kota sejak tanggal 5 Agustus 1947 dan serangan tersebut sekaligus sebagai pernyataan kepada Bangsa Indonesia bahwa Madura belum ditaklukkan sepenuhnya oleh Belanda yang sebelum menyerang Madura pada tanggal 4 Agustus 1947 Belanda telah sesumbar akan menaklukkan Madura dalam satu hari saja. Pada serangan umum tersebut tidak sedikit dari serdadu Belanda tewas dan sempat pertahanan serdadu Belanda  dilumpuhkan dan mereka mundur keluar kota ke arah selatan tidak kurang selama 5 jam mereka berada di luar kota  sambil menunggu bantuan dari Surabaya. Setelah bantuan datang baru serdadu Belanda   tersebut kembali memasuki kota yang telah dikosongkan oleh para  pejuang. Para syahid dari pasukan TNI dan Kelaskaran seperti Sabilillah, Hisbullah dan Pesindo banyak yang gugur tidak kurang dari seribu lima ratus orang dari mereka yang datang menyerang sekitar lima puluh ribu prajurit yang terdiri dari TKR, dan lascar Sabilillah, Barisan pemberontak, Hisbullah dan Pesindo yang datang dari seluruh Madura. (keterangan salah seorang imam masjid yang menyebut sebagai saksi mata) Namun dalam catatan yang lebih akurat berdasarkan penelitian para pelaku serangan umum tersebut terdiri dari dua kompi Tentara, satu kompi Brimob dan 1000 orang dari badan-badan perjuangan sebagaimana disebutkan di atas. Dari sekian penyerang ada pilihan yang gugur sebagai pahlawan. Mereka yang gugur, semuanya dikubur di depan Masjid Jamik sebelah sisi utara dan kemudian di situ didirikan monumen Taman Makam Pahlawan (TMP). Namun kemudian di tahun 1974 para Syuhada yang terkubur di Taman Makam Pahlawan tersebut seluruhnya dipindah ke Taman Makam Pahlawan di Jalan Panglegur seperti adanya saat ini. Sebagian bekas taman makam pahlawan di depan masjid tersebut bagian tepi barat sudah menjadi Jalan Masigit setelah  ada pelebaran jalan depan masjid pada tahun 2004. Serangan Umum tanggal 16 Agustus 1947 tersebut oleh seorang wartawan perang Belanda, Wim Horman,  menyebutkan  dalam ungkapannya :

Seniman menggambarkan  peristiwa tersebut dalam sebuah lukisan sebagaimana terdapat dalam buku Tim Penyusun Sejarah , 1991

suasana pagi hari di depan masjid pada tanggal 16 Agustus 1947 beberapa saat setelah selesainya serangan umum

lukisan (bukan gambar asli) di atas dikutip dari buku “ Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura “ oleh : Tim penyusun sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di Madura tahun 1991. Lukisan tersebut sebagai ungkapan kenangan, tentu saja berdasarkan imajinasi spekulatif yang dalam Penulisan sejarah  memang dibenarkan apabila  penulis sejarah / sejarawan tidak memiliki data / fakta asli, namun walaupun demikian penulis sejarah / sejararawan harus mendekati  permasalahan yang sedang di bahas, ( Kasdi, 2003) it was echt een zware nacht merrie / benar-benar sebuah mimpi buruk yang dahsyat.

Taman Makam Pahlawan (foto Mus) TMP digusur tahun 1974 di pindah keTMP Panglegur.

Renovasi tahun 1980-1985

Pada tahun 1985 oleh Yayasan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan, Masjid   kembali mendapat renovasi berupa pelebaran ke samping kanan dan kiri sejauh lima meter dengan jalan menggusur tempat untuk berwudhu’ yang kemudian tempat air wudhu’ tersebut dipindah ke bagian depan sebelah utara. Nama masjid kemudian ditambah dari Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan.
Pada September tahun 1995 di jaman pemerintahan Bupati Drs. H. Subagio, M.Si Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan direnovasi total kembali. Secara total Masjid dibangun dengan seluruhnya cor beton . Karena berada di tepi sungai yang rawan longsor  maka digunakan pasak bumi yaitu paku beton sepanjang 22 meter tertancap di bumi dasar mesjid sebanyak 360 batang dan setiap pasak dihubungkan dengan cor beton pula sehingga Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan renovasi 1995 ini terkesan bagaikan sangkar beton yang tertancap di bumi sebagai fondasinya. Masjid ini memiliki 3 lantai. Lantai pertama sebagian digunakan sebagai Gudang, Kantor Takmir, Ruang Pertemuan, Perpustakaan, Balai Pengobatan, sanitasi dan tempat ambil air wudhu’. Sebagian lagi tepatnya di bagian ke arah barat tertutup ditimbuni tanah. Lantai 2 sebagai ruang inti / haram dengan ukuran 50X50  meter dan samping kanan-kiri.  Bagian depan dibatasi dinding sebagai serambi masjid. Tiang utama 4 (empat) buah dengan demikian kembali ke styl masjid Mataram yang memiliki empat pilar tiang agung yang tertancap di dasar bangunan tembus ke lantai tiga. Lantai tiga juga dipersiapkan sebagai tempat sholat, dari lantai tiga ini  para jamaah dapat melihat imam shalat di lantai dua. Materi bangunan masjid banyak didatangkan dari luar Madura seperti marmar untuk lantai dari Tulungagung dan Lampung. Tembok dinding dilapisi dengan ukiran, juga pintu dari kayu berukir dan ukiran ini didatangkan dari Jepara di Jawa Tengah dan Karduluk di Sumenep. Secara keseluruhan masjid renovasi 1995 masih dalam bentuk masjid tradisional, berserambi, bertiang utama (tiang agung) empat buah, tetapi atapnya tidak lagi atap tajung tumpang tiga melainkan bergaya Timur Tengah, bentuk segi empat dan berkubah cor pasir dan semen. Nama masjid tetap Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan dengan daya muat sebanyak 4000 jamaah.
Renovasi total Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan berlanjut hingga pemerintahan Bupati Drs. H. Dwiatmo Hadiyanto, M.Si. Rehap dalam tahap akhir pemberian pagar dan gerbang masjid serta pelebaran Jalan Masigit khususnya di depan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan dilaksanakan dalam pemerintahan bersama Bupati Drs. H. Ahmad Syafi’i, M.Si dan Wakilnya Drs. H. Kadarisman Sastrodiwirjo, M.Si yang memerintah dari tahun  2003 s/d 2008 sekaligus merestui Takmir Masjid Agung Asy-Syahada’ Kabupaten Pamekasan yang baru yaitu Drs. H.R. Abd. Mukti, M.Si sebagai Ketua Umum  Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan dan Drs. KH.M. Baidowi Ghazali, MM sebagai Ketua Yayasan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan. Pada saat tulisan ini disusun renovasi Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan memang sudah selesai  sesuai dengan konsep semula. Namun Wajah Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan terus-menerus dipercantik sebatas yang diperbolehkan agama, dan ragam rias ini selalu dalam pengamatan dan bimbingan langsung dari Bupati Kabupaten Pamekasan  Drs. KH. Kholilurrahman, SH.,M.Si dan Wakilnya Drs. H. Kadarisman Sastrodiwirjo, M.Si yang keduanya mulai menjabat dari tahun 2008 s/d 2013. Pada tahun 2011 tepatnya pada tanggal, 24 Mei 2011 Yayasan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten dan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan di lebur menjadi satu dengan nama Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang di ketuai oleh Drs. H. RP. Abd. Mukti, M.Si.

KIBLAT
Dalam masalah kiblat ini Pamekasan yang termasuk daerah khatulistiwa, sebagaimana umumnya negeri kita, Indonesia. Apa yang mereka kerjakan.” ( Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat : 144 ).  
Untuk daerah kita, telah diperhitungkan menurut azimuth yang sudah digunakan bagi seluruh tempat di tanah air dan bagi Pamekasan yaitu arah barat-barat daya atau kearah barat dan serong ke arah utara sebesar 23º, sehingga mengarah ke Masjidil Haram di Makkah. Dengan demikian Jhâlân Sè Jhimat yang mengarah dari simpang monumen Lancor di renovasi untuk disesuaikan sebab jalan tersebut dahulu dibuat dengan tujuan mengarah ke mihrab mesjid Rato dengan maksud si pejalan kaki merupakan sosok yang berjalan di jalan Allah menuju tempat untuk sujud kepada Allah. Namun saat ini jalan Sè Jhimat tersebut sudah menjadi tempat parkir.  Wa Allâhu a’lam bi al sawhâb.
Namun  menurut berita pers (Jawa Pos, Rabu 17 Maret 2010) Kementerian Agama  Republik Indonesia, berencana mengukur ulang arah kiblat masjid di seluruh Indonesia yang jumlahnya ribuan, sekitar 700.000 masjid dan mosholla. Rencana tersebut akan dilakukan karena untuk menghindari ketidakakuratan arah ke Kakbah seperti diduga sering terjadi  selama ini. Pengukuran tersebut bukan sepenuhnya kesalahan tetapi lebih banyak karena faktor teknologi dan keterbatasan peralatan. Ditegaskan bahwa Kementerian Agama akan melakukan pengukuran apabila ada permintaan dari pengurus masjid di seluruh wilayah Indonesia. Pernyataan ini dinyatakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 15 Maret 2010 saat membuka Sosialisasi Arah Kiblat Tingkat Nasional di Jakarta. Tentu saja bagi masjid atau mosholla yang belum diferifikasi arah kiblatnya jamaah harus melakukan sholat seperti biasa, sebab penetapan kiblat saat itu sudah sesuai dengan kondisi ilmu falaq  dan peralatan yang ada saat itu. Namun saat ini dengan teknologi komputer dan satelit,  dapat diketahui posisi kiblat dengan melihat posisi matahari saat tepat berada di atas Kakbah. Dengan demikian bayang-bayang benda di permukaan bumi pada jam tersebut  mengarah ke Kakbah. Jika arah tersebut telah kita temukan, berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi hasil tersebut sudah merupakan ijtihad yang tentunya wajib dipergunakan. Karena itu dianjurkan agar masyarakat / pengurus Takmir masjid mau berkonsultasi dengan pihak Kementerian Agama setempat untuk mendapatkan  arah kiblat yang sesuai.

RUANG  DAN INTERIOR SERTA SARANA LAINNYA
DI MASJID AGUNG ASY-SYUHADA

Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupten Pamekasan yang berlantai tiga ini mempunyai  banyak ruang  dengan fungsi yang berbeda seperti :
1.       Ruang liwan, ruang inti tempat jamaah masjid melakukan sholat berjamaah,terdapat di lantai dua, juga terdapat di lantai tiga 30X1,20 M




Ruang Haram  / Liwan di lantai 2


Ruang Haram / Liwan di lantai 3
2.       Serambi, serambi depan 9X55 M dan serambi samping kiri-kanan dengan ukuran  masing-masing 4,5X20,7 M di lantai dua.

Serambi samping kanan / utara , lantai 2

Serambi  depan di lantai 2
Serambi samping kiri / ruang liwan wanita di lantai 2


3.      Ruang istirahat Imam sejajar dengan ruang-ruang  mihrab dan mimbar dan ruang muadzin sekaligus sebagai ruang alat-alat elektronik. Masing-masing berukuran 5X3 M di lantai dua

Mihrab dan mimbar

4.      Kantor Takmir, terletak di lantai satu berukuran  4X20 M.

5.    Ruang Pertemuan, terletak di lantai satu dengan ukuran  8X21 M
Di samping ruang-ruang ini masih tersedia ruang-ruang lain seperti gudang tempat penyimpanan alat kelengkapan masjid seperti terpal, permadani dan lain-lain. Juga di sekitar atau bagian sisi utara dan barat masjid dibangun beberapa bangunan untuk tempat pendidikan dan kesenian. Walaupun tempat seperti terpisah tapi masih merupakan satu komplek dalam makna masih mencerminkan adanya hubungan orientasi antara komplek dan bangunan induk masjid.

6.       Ruang Unit Radio “ Swara Gerbangsalam 88,6 FM “ hasil kerja sama Majelis Ulama’ Indonesia Kab. Pamekasan, Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam Kab. Pamekasan, FOKUS Kab. Pamekasan dan Yayasan Takmir Masjid Asy-Syuhada’ Kab. Pamekasan dengan ukuran 3X3 M dan juga ada ruang tempat penyelenggaraan rekaman, relay / TV. Dan sekarang dikelola oleh Badan Pengelola Radiop Gerbang Salam 88,6 FM.


Radio Swara Gerbangsalam 88,6 FM sedang mengudara
7.      Ruang Wanita, ditempatkan terpisah dari jamaah pria yaitu di serambi bagian kiri (selatan ) Pemisahan tempat ini untuk menjaga agar tidak tergaggunya kekhusyukan, dari dua jamaah yang berbeda jenis kelamin, wanita-pria. Untuk hari-hari biasa, pada hari Jum’at tidak disediakan tempat Jamaah wanita hal ini karena bagi wanita shalat Jum’at merupakan  sunat (boleh melaksanakan boleh tidak) tetapi untuk hari-hari besar seperti  Idul Fitri dan Idul Adha disediakan di lantai tiga. Walaupun terjadi pemisahan seperti tersebut di atas, para jamaah wanita masih dengan sempurna hubungan pandangan  secara langsung ke ruangan pria yang demikian dimaksudkan agar herak-gerik imam  atau khatib dapat diikuti secara langsung dari ruang wanita. 

Ruang wanita serambi kiri di lantai 2
8.     Tempat ruang sesuci / Wudhu’ dan Sanitasi, terdapat di lantai satu di kiri (Selatan )- kanan (Utara). Untuk wanita di bagian kiri, terdapat 6 (enam) sanitasi dan 27 kran untuk mengambil air wudhu. Sedangkan di bagian kanan untuk pria, terdapat 10 tempat sanitasi, 4 tempat kencing dan kran untuk mengambil air wudhu’ sebanyak 26 buah. Pemisahan kedua ruang sesuci antara pria dan wanita ini sudah sesuai dengan tuntunan ajaran Agama Islam bahwa manakala sesudah bersuci untuk sholat apabila terjadi persinggungan kulit antara dua jenis kelamin dan bukan termasuk muhrim maka ia menjadi batal, karena ia diharuskan mengambil wudhu’ kembali. Air yang digunakan  untuk air wudhu di Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan adalah air dari mata air yang ada di Pamekasan  melalui jasa PDAM Pamekasan. Pengambilan air wudhu’ disediakan kran sebagaimana tersebut di atas, hal ini untuk menjaga  agar air wudhu’ tetap hygienis. Demikian pula  kamar mandi dan WC yang  ruangnya tertutup  dan sopan sehingga menjamin tingkat privacy jamaah yang menggunakan.

“ KEBERSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN “
“ BERSIH ITI INDAH “
BERSIH ITU SEHAT “
“ BERSIH ITU ISLAMI “

9.      Jam gantung 3 buah, papan publikasi 3 buah, mimbar 1 buah dan beduk 1 buah dan penitipan sandal 

Jam Gantung
10.      Ruang alat elektro dan  pengeras suara

11.    Pertamanan terdapat di halaman masjid bagian tepi kiri-kanan 

 Halaman bagian utara
 Halaman bagian selatan
 12.   Ragam Rias Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan juga dihias dengan kaligrafi, dan beberapa gambar motif  bangunan masjid dan geometris.  
13. Menara , Masjid berujung berbentuk peluru (sesuai dengan penjelasan dari Arsitek Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan yang penulis ikuti saat beliau memberi penjelasan kepada beberapa orang jamaah di tahun 1996 ).
Tinggi 37 M
MENARA KEMBAR

Sekedar untuk  pengetahuan bahwa menara berasal dari kata manara, yaitu  bangunan tinggi kaum Majusi (kaum penyembah api) yang di puncaknya dinyalakan api yang terus-menerus. Kemudian oleh Islam menara difungsikan lain yaitu dijadikan tempat muadzin mengumandangkan adzan agar adzan lebih jauh lagi didengar orang karena adzan  merupakan panggilan atau ajakan untuk melakukan sholat. Saat ini muadzin tidak perlu naik-turun menara yang tinggi dan melelahkan itu. Hal ini karena Islam juga telah menggunakan teknologi yang ada. Muadzin tidak perlu naik-turun menara. tetapi cukup menempatkan  pengeras suara di puncak menara dan muadzin cukup mengumandangkan panggilan shalat tersebut di ruang muadzin sebab dari tempat tersebut dihubungkan ke pengeras suara di puncak  menara menggnakan alat elektro.
Menara Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan tetap dua buah dan merupakan menara kembar sebagaimana menara masjid Jamik Pamekasan buatan tahun 1939 yang telah dibongkar, tetapi menara yang sekarang ujung atasnya berbentuk peluru, bentuk ini sebagai ungkapan bahwa Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan pernah menyaksikan serangan umum yang disebutkan di atas pada tanggal 16 Agustus 1947, saat itu Masjid Jamik Pamekasan dipenuhi lubang bekas peluru yang ditembakkan oleh tentara pendudukan Belanda ke arah masjid sebab di masjid banyak pejuang berlindung.



Sentral Saluran Air masa lalu untuk Kabupaten Pamekasan dilihat dari puncak
Menara Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan dibangun pada Tahun 1927.





Pusat Kota Pamekasan dilihat dari puncak menara Masjid Agung Asy-Syuhada’
Kabupaten Pamekasan

Menara kini telah menjadi bagian dari budaya Islam. Kebudayaan Islam sumbernya adalah ajaran agama. Dengan demikian tidak ada batas-batas kebangsaan dan dogma-dogma lain selain peraturan dan kaidah yang terkandung di dalam ajaran agama yang pada hakikatnya sudah bersifat universal. Dengan demikian kubah masjid atau menara dalam  bentuknya menurut styl apapun bisa muncul dimanapun walau kita tahu kubah dan menara tersebut adalah budaya Islam di timur tengah. Kita boleh berijtihat untuk berkreasi tentang arsitektur masjid untuk menyesuaikan dengan kemajuan jaman sejauh tidak meninggalkan kaidah tata nilai dan tata laku yang telah digariskan oleh ajaran Islam. Namun yang perlu kita ketahui juga bahwa ajaran Islam itu bisa selalu upto date sekaligus menunjukkan dan membuktikan keluhurannya sebagai agama samawi. 


1.       Tempat penitipan kendaraan jamaah di pusatkan di jalan Sè Jhimat  yang sudah ditutup, di area Monumen Lancor.
                                                      
FUNGSI MASJID

Banyak pendapat tentang fungsi masjid, Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan 1974 menguraikan isi kebudayaan secara universal, bahwa  kebudayaan itu dapat diuraikan meliputi tujuh unsur yaitu :
1)       Sistem religi dan upacara keagamaan,
2)       Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
3)       Sistem pengetahuan,
4)       Bahasa,
5)       Kesenian,
6)       Sistem mata pencaharian hidup,
7)       Sistem teknologi dan peralatan.
Dipihak lain Sidi Gazalba, seorang budayawan Islam, dalam bukunya yang berjudul Masjid pusat ibadat dan kebudayaan Islam  (1975, dalam Zain, 1986) menyatakan bahwa kebudayaan meliputi enam unsur yaitu :         
  1. Sosial,
  2. Ekonomi,
  3. Politik,
  4. Ilmu pengetahuan dan teknik,
  5. Kesenian dan,
  6. Filsafat.
Dengan demikian Sidi Gazalba tidak memasukkan unsur religi tetapi memasukkan filsafat karena ia berpendapat kebudayaan dan agama berbeda sumbernya. Kebudayaan merupakan produk manusia dan Agama datang dari Yang Maha Esa.
Menurut konsep Islam agama dan kebudayaan berbeda tapi berhubungan karena agama merupakan produk Tuhan, Allah Azza wa jalla, sedangkan kebudayaan merupakan produk manusia. Kebudayaan mempunyai beberapa unsur, segi sosial, segi ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, bahasa, kesenian dan juga filsafat. Dalam kebudayaan masyarakat menuntut adanya pembagian tugas-tugas tertentu pada warganya.
Dalam berbagai catatan tarikh pada masa Nabi SAW hingga jaman Khalafaur Rasyidin semua unsur kebudayaan itu terpancar dari dalam masjid. Demikianlah berbagai  pernyataan para ahli yang sampai kepada kita, yang demikian, sangat mempengaruhi pikiran para pengelola masjid dalam menetapkan fungsi masjid yang dikelolanya.         
Kegiatan dalam Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan sudah terlihat demikian kompleks. Bahkan dapat dikatakan makmur, sebab kegiatan di sini melibatkan segala umur dan segala jenis kelamin. Bidang yang dicakup juga cukup banyak yakni peribadatan,  pendidikan keagamaan, sosial keagamaan dan sebagainya. Justru dengan semakin makmurnya  kegiatan ini maka pihak pembina masjid yaitu Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan dirangsang untuk semakin dapatnya menyediakan sarana dan prasarana yang layak. Ketua Umum Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan selain mengawasi perkembangan fisik masjid juga membawahi unit-unit usaha, pendidikan, (Taman Pendidikan Al-Qur’an / TPA), badan dakwah, remaja masjid, keamanan, pemeliharaan fisik kompleks masjid, Unit Radio Swara Gerbangsalam sedangkan sekretaris membawahi  pembukuan, keuangan dan urusan material. Sedangkan pemeliharaan gedung ditangani oleh seksi tehnik dan karyawan masjid.
 


Taman Pendidikan Al-Qur’an Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan.

Selain dari yang telah melembaga seperti yang disebutkan di atas masih terdapat kepanitiaan yang bersifat temporer seperti Panitia Amaliyah Zakat Fitrah dan Mall, Panitia Amaliyah Idul Qurban, Panitia Santunan Anak Yatim, Panitia Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw, Panitia Maulid Nabi Muhammad saw. Di samping itu pendidikan non formal juga tidak dilupakan seperti kuliah subuh, kuliah pada malam nisfu sya’ban dan hari-hari besar Islam yang dirayakan di Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan, ceramah dan dialog interaktif Radio Swara Gerbangsalam 88,6 FM, akad nikah dan doa bersama seperti Istighatsah oleh berbagai golongan organisasi Islam. Juga dalam program pengembangannya Yayasan Takmir Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan pada tahun Ajaran 2011 akan membuka Play Group, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Madrasah Diniyah dan Belajar Sampoa, belajar mengaji bagi Lansia.


Gedung Taman Pendidikan Al-Qur’an Asy-Syuhada’ Terletak di samping belakang bagian utara Komplek Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan.

Semua tercakup dalam pengelompokan, religi, pendidikan, sosial budaya dan ekonomi, kemasyarakatan dan kepemudaan.  
Dengan demikian fungsi Masjid Agung Asy-Syuhada’ kabupaten Pamekasan sudah secara estafet, meneruskan budaya Islami yang selaras dengan budaya lokal, walaupun demikian warna kultur Islam masih dapat terlihat jelas, hal ini karena kultur Islam memiliki warna khas tersendiri. 


PENUTUP
Dalam berbagai ragam uraian tersebut di atas bisa kita pahami, bahwa :
v  Keberadaan Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang sekarang tidak terlepas dari adanya usaha Raja Pamekasan, Ronggosukowati yang telah mengawali dengan mendirikan Masèghit Rato (Masjid Raja) yang beliau bangun di jaman Pemerintahan beliau. (1530 – 1616)
v  Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan masih tetap berada di tempat masjid pemula yaitu Masèghit Rato.
Dalam perjalanan panjang Masèghit Rato, telah terjadi perubahan-perubahan pengembangan Masèghit Rato baik yang dilakukan oleh badan kemasyarakatan maupun oleh Pemerintah Kabupaten Pamekasan. Hal ini terlihat dari arsitektur yang silih berganti setiap dilakukan renovasi yang pada hakikatnya menunjuk kepada perubahan jaman, baik dalam pemikiran maupun dalam perilaku, sehingga terwujud dalam bentuknya Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang sekarang ini.
v  Fungsi Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan selalu berkembang dan mengikuti perkembangan pikiran Islam modern tetapi tetap dalam pangakuan ajaran Islam.
v  Demikian sejarah singkat tentang perjalanan Masèghit Rato hingga saat ini telah menjadi Masjid megah dengan nama Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan, buku ini masih  sangat dirasakan kekurangannya. Hal ini memang tidak mungkin penulis dapat merekam dan mendokumentasi semua yang terjadi atas perkembangan dari Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan yang fungsinya sudah demikian kompleks.
v  Namun demikian walau langkah yang tiada seberapa ini tetap penulis persembahkan kepada warga Kabupaten Pamekasan dan generasinya atau kepada siapapun bagi mereka yang ingin mengorek apa dan bagaimana Masjid Agung Asy-Syuhada’ Kabupaten Pamekasan ini.
v  Akhirnya hanya kepada Allah SWT semata penulis panjatkan puji syukur atas segala rahmat, petunjuk dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita warga Pamekasan dan penulis khususnya sehingga penulisan ini dapat diselesaikan sebagaimana yang telah direncanakan.   
Dan juga khususnya kepada generasi muda Madura 
semoga selalu ingat kepada sabda Nabi SAW :
Berbuatlah untuk duniamu
Seolah-olah kamu akan hidup abadi
Dan berIbadalah untuk akhiratmu
Seolah-olah kamu akan mati besuk
(HR. Muslim)

2 komentar:

  1. Saya sudah beberapa kali ke Masjid Asy Syuhada, ternyata lumayan luas banget dan tempatnya yang strategis ditengah kota selain itu dekat dengan monumen arek lancor juga.. essipp pokoknya..

    BalasHapus